Kamis, 30 April 2015

AYAT-AYAT TENTANG MEWARIS DAN TAFSIRNYA

لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ  نَصِيبًا مَفْرُوضًا  ﴿النساء:٧﴾
“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.”

Tafsirnya : Apabila anak yatim mendapatkan peninggalan harta dari kedua orang tuanya  atau kerabatnya yang lain mereka sama mempunyai hak dan bagian.masing-masing mereka mendapat akan bagian yang telah di tentukan oleh Allah . Tak seorang pun dapat mengambil atau mengurangi hak mereka.
Sabab nuzul : diriwayatkan , ketika aus bin tsabit meninggal dunia , ia meninggalkan seorang istri yaitu ummu kuhhah dan tiga orang anak perempuan . kemuadian dua orang anak paman aus yakni suwaid dan artafah melarang memberikan bagian harta warisan itu kepada istri dan ketiga anak perempuan au situ , sebab menurut adat jahiliyah anak-anak dan perempuan tidak mendapat warisan Karena apapun karena tidak sanggup menuntut balas ( bila terjadi pembunuhan dan sebagainya) . Kemuadian istri aus mengadu kepada rasullulah , lalu rasullulah memanggil suwaid dan artafah keduanya menerangkan kepada rasullulah SAW bahwa anak-anaknya tidak menunggang kuda , tidak sanggup memikul beban dan tidak berbuat apa-apa . maka turunlah ayat ini menetapkan hak perempuan dalam menerima warisan sebagaimana dijelaskan ayat waris.
 
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ  لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ  فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ  وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ  وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ  فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ  فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ  مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ  آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا  فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ  إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا  ﴿النساء:١١﴾
“Allah mensyari´atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

Tafsirnya  : dalam ayat ini allah menyampaikan wasiat yang mewajibkan  kepada kaum muslimin yang telah mukallaf  untuk menyelesaikan harta warisan bagi anak yang di tinggalkan oleh orang tuanya , baik mereka laki-laki atau perempuan . Apabila ahli waris terdiri anak laki-laki dan perempuan , maka berikan kepada laki-laki dua bagian dan perempuan satu bagian . Adapun hikmah anak laki-laki mendapat dua bagian karena laki-laki memerlukan nafkah istrinya dan anaknya. Sedangkan perempuan hanya memerlukan biaya untuk diri sendiri . Adapun apabila ia telah menikah maka kewajiban nafkahnya di tanggung suami . Karena itu wajarlah jika ia diberikan satu bagian .
Yang di maksud anak atau ahli waris lainnya dalam ayat ini adalah secara umum . kecuali karena ada halangan yang menyebabkan anak atau ahli waris lainnya tidak mendapat hak warisan . Adapun yang dapat menghalangi seseorang hak warisnya adalah
1.      berlainan agama
2.       membunuh pewaris. Ini berdasarkan hadits dan ijma
3.      Bila ahli waris menjadi hamba sahaya
4.      Harta peninggalan para nabi tidak boleh di bagi-bagi sebagai warisan.


وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ  فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ  مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ  وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ  فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ  مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ  وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلَالَةً أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ  فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَٰلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ  مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَىٰ بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَارٍّ  وَصِيَّةً مِنَ اللَّهِ  وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ  ﴿النساء:١٢﴾
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari´at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.”

Tafsirnya :
Yakni anak kandung atau anak dari anak laki-laki, baik laki-laki maupun perempuan, seorang atau lebih, baik lahir dari suami atau dari laki-laki lain. Namun tidak mengurangi jatah suami (1/2) atau istri (1/4) anak dari puterinya berdasarkan ijma
Dan kakek dst. ke atas
Anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki, anak perempuan dan cucu perempuan dari anak laki-laki dst. ke bawah Ahli waris yang tidak meninggalkan bapak/kakek dan anak/cucu disebut dengan kalalah. Berdasarkan ayat ini, maka bapak/kakek dan anak/cucu ketika ada menghalangi saudara/i seibu mendapatkan bagian 1/6 atau 1/3.
Yakni mereka tidak lebih dari 1/3 meskipun jumlahnya lebih dari dua. Ayat ini juga menunjukkan bahwa yang laki-laki dan yang wanitanya mendapatkan bagian yang sama, karena lafaz "syurakaa" di ayat tersebut menunjukkan sama. Kata-kata "Fahum syurakaa' fits tsuluts" menunjukkan bahwa saudara sekandung menjadi gugur (tidak mendapat warisan) dalam masalah yang biasa disebut sebagai masalah Himaariyyah (dinamakan himariyyah menurut riwayat adalah karena dalam kasus seperti ini, seorang hakim pernah memutuskan bahwa saudara sekandung tidak mendapatkan bagian, sehingga yang tidak mendapatkan bagian ini berkata, "Katakanlah ayah kami himar (keledai) atau batu yang dicampakkan ke laut, namun bukankah ibu kami satu? Mengapa saudara seibu dapat pusaka, padahal kami juga seibu dengan mereka, tetapi mengapa tidak dapat?") ,yaitu ketika si mati meninggalkan suami, ibu, saudara/i seibu dan saudara kandung. Suami mendapatkan 1/2, ibu mendapatkan 1/6, saudara/i seibu mendapatkan 1/3, sedangkan saudara-saudara sekandung gugur (karena harta habis). Hal itu, karena Allah menyandarkan 1/3 kepada saudara/i seibu, jika sekiranya saudara-saudara sekandung ikut mengambil bagian, tentu hal ini sama saja menyatukan masalah yang Allah memisahkannya. Di samping itu, saudara/i seibu tergolong as-habul furudh (orang-orang yang berhak mendapat bagian tertentu), sedangkan saudara sekandung tergolong 'ashabah. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ""Berikanlah bagian ashabul furudh, sisanya untuk laki-laki yang terdekat." (lafaznya sudah disebutkan sebelumnya). Dalam masalah himariyyah ini, tidak ada sisa, karena bagiannya telah habis diambil oleh as-habul furudh sehingga saudara sekandung tidak mendapatkannya (gugur).
Adapun bagian saudara/i sekandung atau sebapak, maka sudah disebutkan di akhir surat An Nisaa', "Yastaftuunaka fil kalaalah…dst." Berdasarkan ayat tersebut seorang saudari sekandung atau sebapak mendapatkan 1/2, jika ada dua maka mendapatkan 2/3 (yakni ketika tidak ada anak/cucu, ayah/kakek dan tidak ada saudara sekandung atau sebapak).
Namun seorang saudari sekandung jika bersama seorang saudari sebapak atau beberapa orang saudari sebapak mengambil 1/2, sedangkan sisanya dari 2/3 yaitu 1/6 untuk seorang saudari atau beberapa orang saudari sebapak menyempurnakan 2/3. Contoh: seorang wafat meninggalkan saudari sekandung, saudari seayah dan paman sekandung, maka saudari sekandung mendapatkan ½, saudari seayah mendapatkan 1/6 menyempurnakan 2/3 dan sisanya untuk paman.
Saudari kandung mewarisi sebagai ‘ashabah ma’al ghair apabila si mati meninggalkan wanita yang termasuk far’ (anak, cucu, dst. ke bawah) yang mendapatkan warisan sebagai as-habul furuudh, sehingga saudari kandung menduduki saudara sekandung. Contoh saudari kandung mewarisi sebagai ‘ashabah ma’al ghair adalah seorang wafat meninggalkan puterinya, puteri anaknya yang laki-laki, saudari sekandung dan saudara seayah, maka untuk puteri adalah ½, untuk puteri dari anaknya yang laki-laki adalah 1/6 untuk menyempurnakan 2/3, saudari kandung mendapatkan sisanya, sedangkan saudara seayah tidak mendapatkan apa-apa.
        Jika beberapa orang-orang saudari sekandung menghabiskan 2/3, maka saudari-saudari sebapak gugur (tidak mendapatkan apa-apa) kecuali jika bersama mereka saudara sebapak yang berada sama dengan derajat mereka, maka mereka di'ashabahkan, sehingga sisanya untuk laki-laki dua orang bagian perempuan. Contoh: si mati meninggalkan dua orang saudari sekandung, saudari-saudari seayah dan seorang saudara seayah, maka dua orang saudari sekandung itu mendapat 2/3, dan sisanya dibagi antara saudara-saudara perempuan seayah dan saudara laki-laki seayah dengan pembagian bagian laki-laki dua kali bagian perempuan.
        Jika beberapa orang saudara itu terdiri dari laki-laki dan perempuan (yakni jika bersama saudari kandung ada saudara laki-laki sekandung), maka saudari kandung menempati posisi 'ashabah bil ghair, sehingga bagiannya adalah seorang saudara laki-laki adalah dua bagian perempuan.

وَلِكُلٍّ  جَعَلْنَا  مَوٰلِىَ  مِمَّا  تَرَكَ  الْوٰلِدَانِ  وَالْأَقْرَبُونَ  ۚ  وَالَّذِينَ  عَقَدَتْ  أَيْمٰنُكُمْ  فَـَٔاتُوهُمْ  نَصِيبَهُمْ  ۚ  إِنَّ  اللّٰـهَ  كَانَ  عَلَىٰ  كُلِّ  شَىْءٍ  شَهِيدًا   ﴿النساء:٣٣﴾
“Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya. Dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.”

Tafsirnya :
        Secara umum ayat ini menerangkan bahwa semua ahli waris baik ibu bapak dan karib kerabat maupun orang-orang yang terikat dengan sumpah setia , harus mendapat bagian dari harta peninggalan menurut bagiannya masing-masing
Ada beberapa hal yang harus di sebutkan disini , anatra lain :
1.kata mawalia yang di terjemahkan dengan ahli “ waris “ adalah bentuk jamak dari maula yang mengandung banyak arti , antara lain:
a)      Tuan yang memerdekakan hamba sahaya (budak)
b)      Hamba sahaya yang dimerdekakan
c)      Ahli waris asabah atau bukan
           Asabah iaialh ahli waris yang berhak menerima sisa dari harta warisan , setelah dibagikan kepada ahli waris lainnya yang mempunyai bagian tertentu atau berhak menerima semua harta warisan apabial tidak ada ahli waris yang lain.


وَالَّذِينَ آمَنُوا مِنْ بَعْدُ وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا مَعَكُمْ فَأُولَئِكَ مِنْكُمْ وَأُولُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ 
(Dan orang-orang yang beriman sesudah itu) sesudah orang-orang yang lebih dahulu beriman dan berhijrah (kemudian berhijrah dan berjihad bersama kalian, maka orang-orang itu termasuk golongan kalian) hai orang-orang Muhajirin dan orang-orang Ansar. (Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu) yakni orang-orang yang mempunyai hubungan persaudaraan (sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya) dalam hal waris-mewarisi daripada orang-orang yang mewarisi karena persaudaraan iman dan hijrah yang telah disebutkan pada ayat terdahulu tadi (di dalam Kitabullah) di Lohmahfuz. (Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu) yang antara lain ialah hikmah yang terkandung di dalam hal-ihwal waris-mewarisi.
Tafsirnya : Maksudnya: yang jadi dasar waris mewarisi dalam Islam ialah hubungan kerabat, bukan hubungan persaudaraan keagamaan sebagaimana yang terjadi antara Muhajirin dan Anshar pada permulaan Islam.

SEBAB TURUNNYA AYAT: Ibnu Jarir mengetengahkan sebuah hadis melalui Ibnu Zubair yang telah menceritakan, bahwa ada seorang lelaki mengadakan perjanjian dengan lelaki yang lain, "Engkau mewarisi aku dan aku pun mewarisimu." Maka turunlah firman-Nya, "Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam Kitabullah." (Q.S. Al-Anfaal 75). Ibnu Saad mengetengahkan sebuah hadis melalui jalur periwayatan Hisyam bin Urwah dari ayahnya yang telah menceritakan kepadanya bahwa Rasulullah saw. telah mempersaudarakan antara Zubair bin Awwam dan Kaab bin Malik. Kemudian Zubair mengatakan, "Sungguh aku melihat Kaab tertimpa luka yang berat di dalam perang Uhud. Lalu aku berkata kepada diriku sendiri, seandainya Kaab meninggal dunia maka niscaya aku akan mewarisi peninggalannya." Maka ketika itu juga turunlah firman-Nya, "Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam Kitabullah." (Q.S. Al-Anfaal 75). Setelah itu harta warisan menjadi hak saudara-saudara dan kaum kerabat mayit dan tidak lagi diwariskan oleh saudara angkat (yang pernah dilakukan Rasulullah saw.)

0 komentar:

Posting Komentar

Text Widget

Copyright © CATATAN HARIAN MAHASISWA GENDENG | Powered by Blogger

Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com