BAB
II
PEMBAHASAN
A. Asal
Usul Bangsa Arab Pra Islam
Bangsa Arab adalah ras Semit yang tinggal di sekitar jazirah Arabia. Bangsa arab purbakala
adalah masyarakat terpencil
sehingga sulit dilacak riwayatnya. Sedangkan bangsa arab termasuk dalam
keturunan ras bangsa Caucasoid.’
Bangsa arab terbagi atas dua kelombok besar, yaitu:
1) Arab
Baidah
Arab Baidah ialah bangsa Arab yang sudah tidak
ada lagi, di antaranya telah tercatat dalam kita agama samawi dan syair-syair
arab seperti kaum Tsamud, Ad, Jadis, dan Thasm. Rata-rata kehidupan peradaban
mereka maju dalam bidang pertanian, peternakan, dan kerajinan. Hal tersebut
karena letaknya yang strategis diantar jalur perniagaan internasional saat itu,
maka banyak penduduknya menjadi saudagar ulung. ‘
2) Arab
Baqiah
Keturunan Baqiah masih ada sampai sekarang,
mereka terbagi dalam dua kelompok diantarnya adalah Arab Aribah yaitu kelompok
yang bernenek moyang bangsa Qathan
di Yaman.
Kedua Arab Musta'ribah yang Kebanyakan dari
penduduk Arabia yang mendiami bagian tengah Jazirah Arabia dari Hijaz sampai ke
Syam. Kelompok arab Musta'arabah inilah yang mendiami Mekkah tinggal bersama Nabi
Ibrahim hingga terjadi percampuran (Perkawinan) yang
kemudian melahirkan suku arab termasuk
suku Quraisy, yang tumbuh dari induk
suku Adnan.
Bangsa Arab menyebut tanah air mereka dengan
Jazirah Arab, [3] sedangkan batas-batas semenanjung atau jazirah Arab adalah
sebagai berikut:
sebelah selatan: lautan Hindia
·
sebelah timur
: teluk Arab (dahulu teluk Persia)
·
sebelah utara
: gurun Iraq dan gurun Syam (sekarang Syiria)
·
sebelah barat
: Laut Merah
Panjangnya 1000 km dan lebarnya ±1000 km.
Jazirah Arab hampir 5/6 daerahnya terdiri dari padang pasir, maka sungai sangat
jarang terdapat di jazirah arab dan hanya ada perigi atau oase di tengah-tengah
padang pasir.
Jazirah Arab terbagi atas 2 bagian yakni,
bagian tepi dan bagian tengah. Bagian tengah terdiri dari pegunungan yang curah
hujannya sangat sedikit, penduduknya pun secara otomatis sedikit, yaitu kaum
pengembara.
Bagian tengah terbagi menjadi 2 bagian, yaitu:
·
Bagian utara, disebut “Najed”
·
Bagian Selatan disebut “Al Ahqaf”
Sedangkan di bagian tepi, serupa dengan sebuah
pita kecil yang melingkari jazirah arab, hanya di pertemuan antara laut merah dengan
lautan hindia pita itu agak lebar. Pada jazirah Arab ini boleh dikatakan hujan
turun cukup teratur, oleh karena itu penduduknya tiada yag mengembara melainkan
menetap di tempatnya.
Jazirah arab terbagi kepada lima daerah,
yaitu:
1.
Hijaz, kotanya adalah Makkah, Madinah dan Thaif
2. Yaman,
terletak di bagian selatan; diantaranya adalah San’a yang merupakan ibukota
Yaman zaman dahulu
3.
Najed, terletak di bagian tengah jazirah Arab
4.
Tihamah, terletak antara Hijaz dan Yaman
5.
Yamamah, terletak antara Yaman dan Najed
Jenis-jenis bangsa Arab dipandang dari segi
cara hidupnya dibedakan menjadi dua macam, yaitu penduduk gurun “Badui” dan
penduduk negeri “Ahlul Hadlar”. Penduduk Badui (baidah), yaitu orang-orang arab
yang telah lenyap jejaknya, dan tidak diketahui lagi keberadaannyakecuali
karena tersebut di dalam kitab suci, seperti kaum ‘Ad dan Tsmaud.
Cara hidup mereka adalah suka
berpundah-pindah, mengembara untuk mencari tanah yang dapat ditanami, mata air
dan padang rumput untuk menggembala binatang ternak. Sejarah bangsa Arab penduduk gurun pasir
hampir tidak dikenal orang. Yang dapat kita ketahui dari sejarah mereka
hanyalah yang dimulai dari kira-kira lima puluh tahun sebelum Islam.
Sedangkan penduduk negeri adalah penduduk yang
cara hidupnya menetap, tidak berpindah-pindah dan tidak mengembara. Mereka
mendiami Jazirah Arab bagian tepi seperti Hijaz, Hirah, Yaman, dll. Penduduk
negeri memiliki mata pencaharian berdagang dan bercocok tanam. Kehidupan
penduduk negeri lebih teratur bila dibandingkan dengan kehidupan orang gurun.
Dan mereka juga sudah mampu membangun dan mengembangkan kebudayaan, juga mereka
telah mampu mendirikan kerajaan.[1]
B.
Keadaan sosial dan budaya bangsa Arab sebelum Islam
Masyarakat Arab terbagi menjadi
dua kelompok besar, yaitu penduduk kota (Hadhary) dan penduduk gurun (Badui).
Penduduk kota bertempat tinggal tetap. Mereka telah mengenal tata cara
mengelola tanah pertanian dan telah mengenal tata cara perdagangan. Bahkan
hubungan perdagangan mereka telah sampai ke luar negeri. Hal ini menunjukkan
bahwa mereka telah memiliki peradaban cukup tinggi.
Sementara masyarakat
Badui hidupnya berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya guna mencari
air dan padang rumput untuk binatang gembalaan mereka[2].
Di antara kebiasaan mereka adalah mengendarai unta, mengembala domba dan
keledai, berburu serta menyerang musuh. Kebiasaan ini menurut adat mereka
adalah pekerjaan yang lebih pantas dilakukan oleh laki-laki. Oleh karena itu,
mereka belum mengenal pertanian dan perdagangan. Karenanya, mereka hidup
berpindah dari satu tempat ke tempat lain untuk mencari kehidupan, baik untuk
diri dan keluarga mereka atau untuk binatang ternak mereka. Dalam perjalanan
pengembaraan itu, terkadang mereka menyerang musuh atau menghadapi serangan
musuh. Di sinilah terjadi kebiasaan berperang di antara suku-suku yang ada di
wilayah Arabia.
Ketika mereka diserang
musuh maka suku yang bersekutu dengan mereka biasanya ikut membantu dan rela
mengorbankan apa saja untuk membantu kawan sekutunya itu. Di sinilah dapat kita
lihat adanya unsur kesetiakawanan yang ada di antara mereka. Selain itu,
manakala seorang anggota suku diserang oleh suku lain maka seluruh anggota
wajib membela anggotanya meskipun anggotanya itu salah. Mereka tidak melihat
kesalahan ada di pihak mana. Hal penting yang mereka lakukan adalah membela
sesama anggota suku. Itulah yang dapat kita lihat dari sikap fanatisme dan
patriotisme yang ada di dalam kehidupan masyarakat Badui.
Tidak dapat dipungkiri
bahwa kondisi geografis Arab sangat besar pengaruhnya terhadap kejiwaan
masyarakatnya. Arab sebagai wilayah tandus dan gersang telah menyelamatkan
masyarakatnya dari serangan musuh-musuh luar. Pada sisi lainnya, kegersangan
ini mendorong mereka menjadi pengembara-pengembara dan pedagang daerah lain.
Keluasan dan kebebasan kehidupan mereka di padang pasir juga menimbulkan
semangat kebebasan dan individualisme dalam pribadi mereka. Kecintaan mereka
terhadap kebebasan ini menyebabkan mereka tidak pernah dijajah bangsa lain.
Kondisi kehidupan Arab
menjelang kelahiran Islam secara umum dikenal dengan sebutan zaman jahiliyah.
Hal ini dikarenakan kondisi sosial politik dan keagamaan masyarakat Arab saat
itu. Hal itu disebabkan karena dalam waktu yang lama, masyarakat Arab tidak memiliki
nabi, kitab suci, ideologi agama dan tokoh besar yang membimbing mereka. Mereka
tidak mempunyai sistem pemerintahan yang ideal dan tidak mengindahkan
nilai-nilai moral. Pada saat itu, tingkat keberagamaan mereka tidak berbeda
jauh dengan masyarakat primitif.
Sesungguhnya sejak zaman
jahiliyah, masyarakat Arab memiliki berbagai sifat dan karakter yang positif,
seperti sifat pemberani, ketahanan fisik yang prima, daya ingat yang kuat,
kesadaran akan harga diri dan martabat, cinta kebebasan, setia terhadap suku
dan pemimpin, pola kehidupan yang sederhana, ramah tamah, mahir dalam bersyair
dan sebagainya. Namun sifat-sifat dan karakter yang baik tersebut seakan tidak
ada artinya karena suatu kondisi yang menyelimuti kehidupan mereka, yakni
ketidakadilan, kejahatan, dan keyakinan terhadap tahayul.
Pada masa itu, kaum
wanita menempati kedudukan yang sangat rendah sepanjang sejarah umat manusia.
Masyarakat Arab pra Islam memandang wanita ibarat binatang piaraan bahkan lebih
hina lagi. Karena para wanita sama sekali tidak mendapatkan penghormatan sosial
dan tidak memiliki apapun. Kaum laki-laki dapat saja mengawini wanita sesuka
hatinya dan menceraikan mereka semaunya. Bahkan ada suku yang memiliki tradisi
yang sangat buruk, yaitu suka mengubur anak perempuan mereka hidup-hidup.
Mereka merasa terhina memiliki anak-anak perempuan. Muka mereka akan memerah
bila mendengar isteri mereka melahirkan anak perempuan. Perbuatan itu mereka
lakukan karena mereka merasa malu dan khawatir anak perempuannya akan membawa kemiskinan
dan kesengsaraan dan kehinaan.
Selain itu, sistem
perbudakan juga merajalela. Budak diperlakukan majikannya secara tidak
manusiawi. Mereka tidak mendapatkan kebebasan untuk hidup layaknya manusia
merdeka. Bahkan para majikannya tidak jarang menyiksa dan memperlakukan para
budak seperti binatang dan barang dagangan, dijual atau dibunu
Secara garis besar
kehidupan sosial masyarakat Arab secara keseluruhan dan masyarakat kota Mekkah
secara khusus benar-benar berada dalam kehidupan sosial yang tidak benar atau
jahiliyah. Akhlak mereka sangat rendah, tidak memiliki sifat-sifat
perikemanusiaan dan sebagainya. Dalam situasi inilah agama Islam lahir di kota
Mekkah dengan diutusnya Muhammad saw. sebagai nabi dan rasul Allah.
Secara singkat dapat
disimpulkan keaadaan sosial dan kebudayaan bangsa Arab sebelum islam
diantaranya:
1.
Orang-orang
Arab sebelum kedatangan Islam adalah orang-orang yang menyekutukan Allah
(musyrikin), yaitu mereka menyembah patung-patung dan menganggap patung-patung
itu suci.
2.
Kebiasaan
mereka ialah membunuh anak laki-laki mereka karena takut kemiskinan dan
kelaparan.
3.
Mereka
menguburkan anak-anak perempuan mereka hidup-hidup karena takut malu dan
celaan.
4. Mereka
orang-orang yang suka berselisihan, yang suka bertengkar, lantaran sebab-sebab
kecil, sebab segolongan dari mereka memerangi akan segolongannya.
Berikut beberapa contoh-contoh tradisi penyembahan berhala yang
mereka lakukan., seperti:
1) Mereka mengelilingi berhala dan mendatanginya,
komat-kamit dihadapannya, meminta pertolongan tatkala kesulitan, dll.
2) Menunaikan Haji dan
Thawaf di sekeliling berhala.
3) Mengorbankan hewan
sembelihan demi berhala dan menyebut namanya.
4) Orang Arab juga percaya
dengan pngundian nasib dengan anak panah di depan Hubal, mereka juga percaya
pada peramal, orang pintar dan ahli Nujum.[3]
C. Keadaan
ekonomi Bangsa Arab sebelum Islam
Perdagangan merupakan
unsur penting dalam perekonomian masyarakat Arab pra Islam. Makkah misalnya,
karena letak geografisnya yang sangat strategis maka ia menjadi tempat
persinggahan para kafilah dagang yang datang dan pergi menuju pusat perniagaan[4].
Mereka berdagang bukan saja dengan orang Arab, tetapi juga dengan non-Arab.
Kemajuan perdagangan bangsa Arab pra Islam dimungkinkan antara lain karena
pertanian yang telah maju. Kemajuan ini ditandai dengan adanya kegiatan
ekspor-impor yang mereka lakukan. Para pedagang Arab selatan dan Yaman pada 200
tahun menjelang Islam lahir telah mengadakan transaksi dengan Hindia, Afrika,
dan Persia. Komoditas ekspor Arab selatan dan Yaman adalah dupa, kemenyan, kayu
gaharu, minyak wangi, kulit binatang, buah kismis, dan anggur. Sedangkan yang
mereka impor dari Afrika adalah kayu, logam, budak; dari Hindia adalah gading,
sutra, pakaian dan pedang; dari Persia adalah intan. Data ini menunjukkan bahwa
perdagangan merupakan urat nadi perekonomian yang sangat penting sehingga
kebijakan politik yang dilakukan memang dalam rangka mengamankan jalur
perdagangan ini.
Faktor-faktor yang
mendorong kemajuan perdagangan Arab sebelum Islam sebagaimana dikemukakan
Burhan al-Din Dallu adalah sebagai berikut:
1. Kemajuan produksi lokal
serta kemajuan aspek pertanian.
2.
Adanya
anggapan bahwa pedagang merupakan profesi yang paling bergengsi.
3. Terjalinnya
suku-suku ke dalam politik dan perjanjian perdagangan lokal maupun regional antara
pembesar Hijaz di satu pihak dengan penguasa Syam, Persia dan Ethiopia di pihak
lain.
4. Letak
geografis Hijaz yang sangat strategis di jazirah Arab.
5. Mundurnya
perekonomian dua imperium besar, Byzantium dan Sasaniah, karena keduanya
terlibat peperangan terus menerus.
6. Jatuhnya
Arab selatan dan Yaman secara politis ke tangan orang Ethiopia pada tahun 535
Masehi dan kemudian ke tangan Persia pada tahun 257 M.
7. Dibangunnya
pasar lokal dan pasa musiman di Hijaz, seperti Ukaz, Majna, Zu al-Majaz,pasar
bani Qainuna, Dumat al-Jandal, Yamamah dan pasar Wahat.
Data-data yang
dikemukakan Dallu menunjukkan bahwa antara ekonomi dan politik tidak dapat
dipisahkan dalam konteks kehidupan masyarakat Arab pra Islam. Kehidupan politik
Byzantium dan Sasaniah turut memberikan sumbangan dalam memajukan proses
perdagangan yang berlangsung di Hijaz, karena kedua kerajaan ini sangat
berkepentingan terhadap jalur perdagangan ini.
Di lain sisi, Mekkah di
mana terdapat ka’bah yang pada waktu itu sebagai pusat kegiatan Agama, telah
menjadi jalur perdagangan internasional. Hal ini diuntungkan oleh posisinya yang
sangat strategis karena terletak di persimpangan jalan yang menghubungkan jalur
perdagangan dan jaringan bisnis dari Yaman ke Syiria, dari Abysinia ke Irak.
Pada mulanya Mekkah didirikan sebagai pusat perdagangan lokal di samping juga
pusat kegiatan agama. Karena Mekkah merupakan tempat suci, maka para pengunjung
merasa terjamin keamanan jiwanya dan mereka harus menghentikan segala
permusuhan selama masih berada di daerah tersebut. Untuk menjamin keamanan
dalam perjalanan suatu sistem keamanan di bulan-bulan suci, ditetapkan oleh
suku-suku yang ada di sekitarnya. Keberhasilan sistem ini mengakibatkan
berkembangnya perdagangan yang pada gilirannya menyebabkan munculnya
tempat-tempat perdagangan baru.
Dengan posisi Mekkah yang
sangat strategis sebagai pusat perdagangan bertaraf internasional,
komoditas-komoditas yang diperdagangkan tentu saja barang-barang mewah seperti
emas, perak, sutra, rempah-rempah, minyak wangi, kemenyan, dan lain-lain.
Walaupun kenyataan yang tidak dapat dipungkiri adalah pada mulanya para
pedagang Quraish merupakan pedagang eceran, tetapi dalam perkembangan
selanjutnya orang-orang Mekkah memperoleh kesuksesan yang besar, sehingga
mereka menjadi pengusaha di berbagai bidang bisnis.
D. Keadaan
politik bangsa Arab sebelum Islam
Sebagaimana
telah disinggung di atas bahwa sebagian besar daerah Arab adalah daerah gersang
dan tandus, kecuali daerah Yaman yang terkenal subur. Ditambah lagi dengan
kenyataan luasnya daerah di tengah Jazirah Arab, bengisnya
alam, sulitnya transportasi, dan merajalelanya badui yang merupakan
faktor-faktor penghalang bagi terbentuknya sebuah negara kesatuan serta adanya
tatanan politik yang benar. Mereka tidak mungkin menetap. Mereka hanya bisa
loyal ke kabilahnya saja. Oleh karena itu, mereka tidak akan tunduk ke sebuah
kekuatan politik di luar kabilahnya yang menjadikan mereka tidak mengenal
konsep negara.
Sementara menurut
Nicholson, tidak terbentuknya Negara dalam struktur masyarakat Arab pra Islam,
disebabkan karena konstitusi kesukuan tidak tertulis[6].
Sehingga pemimpin tidak mempunyai hak memerintah dan menjatuhkan hukuman pada
anggotanya. Namun dalam bidang perdagangan, peran pemimpin suku sangat kuat.
Hal ini tercermin dalam perjanjian-perjanjian perdagangan yang pernah dibuat
antara pemimpin suku di Mekkah dengan penguasa Yaman, Yamamah, Tamim,
Ghassaniah, Hirah, Suriah, dab Ethiopia.
Model organisasi politik
bangsa Arab lebih didominasi kesukuan (model kabilah). Kepala sukunya disebut Shaikh, yakni
seorang pemimpin yang dipilih antara sesama anggota. Shaikh
dipilih dari suku yang lebih tua, biasanya dari anggota yang masih memiliki
hubungan famili. Shaikh tidak berwenang memaksa, serta tidak
dapat membebankan tugas-tugas atau mengenakan hukuman-hukuman. Hak dan
kewajiban hanya melekat pada warga suku secara individual, serta tidak mengikat
pada warga suku lain.
E. Keadaan
agama bangsa Arab sebelum Islam
Sebelum kedatangan Islam
di arab terdapat berbagai agama diantara ada yang beragama Yahudi, kristen
dimana mayoritas penganut agama Yahudi tersebut pandai bercocok tanam dan
membuat alat-alat dari besi seperti perhiasan dan persenjataan[7].
Penduduk Arab menganut
agama yang bermacam-macam. Paganisme, Yahudi, dan Kristen merupakan ragam agama
orang Arab pra Islam. Pagan adalah agama mayoritas mereka. Ratusan berhala
dengan bermacam-macam bentuk ada di sekitar Ka’bah. Setidaknya ada empat
sebutan bagi berhala-berhala itu: sanam, wathan, nusub, dan hubal. Sanam
berbentuk manusia dibuat dari logam atau kayu. Wathan juga dibuat dari batu.
Nusub adalah batu karang tanpa suatu bentuk tertentu. Hubal berbentuk manusia
yang dibuat dari batu akik. Dialah dewa orang Arab yang paling besar dan
diletakkan dalam Ka’bah di Mekah. Orang-orang dari semua penjuru jazirah datang
berziarah ke tempat itu. Beberapa kabilah melakukan cara-cara ibadahnya
sendiri-sendiri. Ini membuktikan bahwa paganisme sudah berumur ribuan tahun.
Sejak berabad-abad penyembahan patung berhala tetap tidak terusik, baik pada
masa kehadiran permukiman Yahudi maupun upaya-upaya kristenisasi yang muncul di
Syiria dan Mesir.
Agama Yahudi dianut oleh
para imigran yang bermukim di Yathrib dan Yaman. Tidak banyak data sejarah
tentang pemeluk dan kejadian penting agama ini di Jazirah Arab,
kecuali di Yaman. Dzū Nuwās merupakan penguasa Yaman yang condong ke
Yahudi. Dia tidak menyukai penyembahan berhala yang telah menimpa bangsanya.
Dia meminta penduduk Najran agar masuk agama Yahudi. sehingga kalau mereka
menolak, maka akan dibunuh. Namun yang terjadi justru menolak, maka digalilah
sebuah parit dan dipasang api di dalamnya. Mereka dimasukkan ke dalam parit
itu, serta dibunuh dengan pedang atau dilukai sampai cacat bagi yang selamat
dari api tersebut. Korban pembunuhan itu mencapai dua puluh ribu orang. Tragedi
berdarah dengan motif fanatisme agama ini diabadikan dalam al-Quran dalam kisah
“orang-orang yang membuat parit” (Ashab al-Ukhdud). Sedangkan Agama
Kristen di jazirah Arab dan sekitarnya sebelum kedatangan
Islam tidak ternodai oleh tragedi yang mengerikan semacam itu. Yang tampak
hanyalah pertikaian di antara sekte-sekte Kristen. Menurut Muhammad ‘Abid
al-Jabiri, al-Quran menggunakan istilah “Nasara” bukan “al-Masihiyah”
dan “al-Masihi” bagi pemeluk agama Kristen. Bagi pendeta Kristen resmi
(Katolik, Ortodoks, dan Evangelis) istilah “Nasara” adalah sekte sesat,
tetapi bagi ulama Islam mereka adalah “Hawariyun”. Para misionaris
Kristen menyebarkan doktrinnya dengan bahasa Yunani yang waktu itu
madhab-madhab filsafat dan aliran-aliran gnostik dan hermes menyerbu daerah
itu. Inilah yang menimbulkan pertentangan antara misionaris dan pemikir Yunani
yang memunculkan usaha-usaha mendamaikan antara filsafat Yunani yang bertumpu
pada akal dan doktrin Kristen yang bertumpu pada iman. Inilah yang melahirkan
sekte-sekte Kristen yang kemudian menyebar ke berbagai penjuru, termasuk
jazirah Arab dan sekitarnya. Sekte Arius menyebar di bagian selatan jazirah Arab,
yaitu dari Suria dan Palestina ke Irak dan Persia.
Salah satu corak beragama
yang ada sebelum Islam datang selain tiga agama di atas adalah Hanifiyah[8], yaitu sekelompok
orang yang mencari agama Ibrahim yang murni yang tidak terkontaminasi oleh
nafsu penyembahan berhala-berhala, juga tidak menganut agama Yahudi ataupun
Kristen, tetapi mengakui keesaan Allah. Mereka berpandangan bahwa agama yang
benar di sisi Allah adalah Hanifiyah, sebagai aktualisasi dari millah Ibrahim.
Gerakan ini menyebar luas ke berbagai penjuru Jazirah Arab khususnya di tiga
wilayah Hijaz, yaitu Yathrib, Taif, dan Mekah.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Secara sosiologis, bangsa
Arab sebelum Islam merupakan bangsa yang hidup secara kesukuan. Mereka hidup
berpindah-pindah. Hal ini disebabkan kondisi geografis yang tidak mendukung,
seperti model tanah yang tandus, berbatu, padang pasir luas serta beriklim
panas dan jarang turun hujan. Dalam keadaan semacam ini, wajar jika mereka
memiliki watak keras, suka berperang, merampok, berjudi, berzina, sehingga
terkesan jauh dari nilai-nilai moral-kemanusiaan. Demikian ini seakan-akan
menjadi tradisi masyarakat Arab sebelum Islam. Keadaan semacam inilah yang
meniscayakan zaman tersebut disebut zaman jahiliyyah.
Dari sisi perekonomian, unsur
penting yang menjadi andalan masyarakat Arab pra Islam adalah perdagangan di
samping bertani dan beternak. Mereka telah lama mengenal perdagangan bukan saja
dengan orang Arab, tetapi juga dengan non-Arab. Terbukti dengan adanya Mekkah
sebagai kota dagang internasional. Demikian ini karena letak daerah Hijaz,
khususnya Mekkah, sangatlah strategis, yakni penghubung jalur dagang antara Yaman
dengan Syiria. Di samping itu, daerah pesisir ini juga di lewati kapal-kapal
dagang Eropa dan Asia melalui laut merah.
Dunia politik Arab pra
Islam lebih didominasi oleh model kesukuan. Pimpinan tertinggi dari suku
dinamakan Shaikh.Fungsi pemerintahan Shaikh ini
lebih banyak bersifat penengah (arbitrasi) dari pada memberi komando. Shaikh tidak
berwenang memaksa, serta tidak dapat membebankan tugas-tugas atau mengenakan
hukuman-hukuman. Dari dominasi model kesukuan ini, terbentuknya Negara kesatuan
serta adanya tatanan politik yang benar agaknya sedikit terhalangi.
Sementara jika ditinjau
dari sisi keagamaan, masyarakat Arab pra Islam memeluk berbagai macam agama, di
antaranya Paganisme, Yahudi, Kristen dan Hanifiyah. Agama-agama ini
merupakan agama warisan dari pendahu-pendahulunya. Keadaan tersebut masing
terus berlangsung sampai datangnya Islam sebagai agama yang hak, serta
penyempurna dari agama-agama samawi sebelumnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Din,
Burhan, Jazirat- Arab al-Islam, Beirut: t. p. 1989
Asy Syarkowi, Abdurrahman, Muhammad
Sang Pembebas, Yogyakarta: Mitra Pustaka 2003
Taufiqqurahman,
Sejarah Sosial Politik Masyarakat Islam
Daras Sejarah Peradaban Islam (Surabaya: Pustaka Islamika), 2003
Sa’id Romadhan al-Buthy, Muhammad, Sirah
Nabawiyah, Jakarta: Robbani Press cet 11 2006
Yatim
Badri, Sejarah Peradaban Islam , Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada 2008
[1]
Menurut Noeldeke, dinamakan Jazirah Arab
karena wilayah tersebut merupakan wilayah yang sebagian besar terdiri dari
padang pasir. Sedang menurut Muhammad Hasyim Athiyah dinamakan Jazirah karena
penduduknya suka mengembara dan nomaden. Nomaden dilakukan karena kebutuhan
untuk mencari makan bagi ternaknya seperti kuda, unta, dan kambing ke Oase jika
di daerah asal terjadi kemarau panjang. Lihat Taufiqqurahman, Sejarah Sosial
Politik Masyarakat Islam Daras Sejarah Peradaban Islam (Surabaya: Pustaka
Islamika, 2003), 1.
[2]
Dr. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo. 2008 hlm
10.
[4]
Abdurrahman Asy Syarkowi, Muhammad Sang Pembebas, Yogyakarta: Mitra Pustaka
2003 hlm 10
[5]
Burhan Al-Din, Jazirat-Arab al-Islam, Beirut: T p . 1989 hlm 21.
[6]
R A. Nicholson, A Literary History of The Arabs. Cambridge: Cambridge
University Press. 1997 hlm 49
[7]
Dr . Badri Yatim, op. Cit, hlm 15
[8]
Dr. Muhammah Sa’id Ramadhan al-Buthy, Sirah Nabawiyah, Jakarta: Robbani Press
cet 11 2006 hlm 21
0 komentar:
Posting Komentar