Rabu, 06 Mei 2015

Sejarah peradaban islam tentang Peradaban Bangsa Arab Sebelum Islam



BAB II
PEMBAHASAN

      A.  Asal Usul Bangsa Arab Pra Islam
  Bangsa  Arab adalah ras Semit yang tinggal di  sekitar jazirah  Arabia. Bangsa arab  purbakala  adalah  masyarakat terpencil sehingga sulit dilacak riwayatnya. Sedangkan bangsa arab termasuk dalam keturunan ras bangsa Caucasoid.’
Bangsa arab terbagi atas dua kelombok besar, yaitu:
1)   Arab Baidah
Arab Baidah ialah bangsa Arab yang sudah tidak ada lagi, di antaranya telah tercatat dalam kita agama samawi dan syair-syair arab seperti kaum Tsamud, Ad, Jadis, dan Thasm. Rata-rata kehidupan peradaban mereka maju dalam bidang pertanian, peternakan, dan kerajinan. Hal tersebut karena letaknya yang strategis diantar jalur perniagaan internasional saat itu, maka banyak penduduknya menjadi saudagar ulung. ‘
2)  Arab  Baqiah 
Keturunan Baqiah masih ada sampai sekarang, mereka terbagi dalam dua kelompok diantarnya adalah Arab Aribah yaitu kelompok yang bernenek moyang bangsa Qathan  di  Yaman.
Kedua Arab Musta'ribah yang Kebanyakan dari penduduk Arabia yang mendiami bagian tengah Jazirah Arabia dari Hijaz sampai ke Syam. Kelompok arab Musta'arabah inilah yang mendiami Mekkah tinggal   bersama Nabi  Ibrahim   hingga    terjadi percampuran (Perkawinan) yang kemudian melahirkan suku arab  termasuk suku Quraisy, yang tumbuh  dari induk suku Adnan.
Bangsa Arab menyebut tanah air mereka dengan Jazirah Arab, [3] sedangkan batas-batas semenanjung atau jazirah Arab adalah sebagai berikut:
sebelah selatan: lautan Hindia
·         sebelah timur   : teluk Arab (dahulu teluk Persia)
·         sebelah utara   : gurun Iraq dan gurun Syam (sekarang Syiria)
·         sebelah barat   : Laut Merah
Panjangnya 1000 km dan lebarnya ±1000 km. Jazirah Arab hampir 5/6 daerahnya terdiri dari padang pasir, maka sungai sangat jarang terdapat di jazirah arab dan hanya ada perigi atau oase di tengah-tengah padang pasir.
Jazirah Arab terbagi atas 2 bagian yakni, bagian tepi dan bagian tengah. Bagian tengah terdiri dari pegunungan yang curah hujannya sangat sedikit, penduduknya pun secara otomatis sedikit, yaitu kaum pengembara.
       Bagian tengah terbagi menjadi 2 bagian, yaitu:
·         Bagian utara, disebut “Najed”
·         Bagian Selatan disebut “Al Ahqaf”
Sedangkan di bagian tepi, serupa dengan sebuah pita kecil yang melingkari jazirah arab, hanya di pertemuan antara laut merah dengan lautan hindia pita itu agak lebar. Pada jazirah Arab ini boleh dikatakan hujan turun cukup teratur, oleh karena itu penduduknya tiada yag mengembara melainkan menetap di tempatnya.
       Jazirah arab terbagi kepada lima daerah, yaitu:
1.        Hijaz, kotanya adalah Makkah, Madinah dan Thaif
2.    Yaman, terletak di bagian selatan; diantaranya adalah San’a yang merupakan ibukota Yaman zaman dahulu
3.        Najed, terletak di bagian tengah jazirah Arab
4.        Tihamah, terletak antara Hijaz dan Yaman
5.        Yamamah, terletak antara Yaman dan Najed
Jenis-jenis bangsa Arab dipandang dari segi cara hidupnya dibedakan menjadi dua macam, yaitu penduduk gurun “Badui” dan penduduk negeri “Ahlul Hadlar”. Penduduk Badui (baidah), yaitu orang-orang arab yang telah lenyap jejaknya, dan tidak diketahui lagi keberadaannyakecuali karena tersebut di dalam kitab suci, seperti kaum ‘Ad dan Tsmaud.
Cara hidup mereka adalah suka berpundah-pindah, mengembara untuk mencari tanah yang dapat ditanami, mata air dan padang rumput untuk menggembala binatang ternak.  Sejarah bangsa Arab penduduk gurun pasir hampir tidak dikenal orang. Yang dapat kita ketahui dari sejarah mereka hanyalah yang dimulai dari kira-kira lima puluh tahun sebelum Islam.
Sedangkan penduduk negeri adalah penduduk yang cara hidupnya menetap, tidak berpindah-pindah dan tidak mengembara. Mereka mendiami Jazirah Arab bagian tepi seperti Hijaz, Hirah, Yaman, dll. Penduduk negeri memiliki mata pencaharian berdagang dan bercocok tanam. Kehidupan penduduk negeri lebih teratur bila dibandingkan dengan kehidupan orang gurun. Dan mereka juga sudah mampu membangun dan mengembangkan kebudayaan, juga mereka telah mampu mendirikan kerajaan.[1]

B. Keadaan sosial dan budaya bangsa Arab sebelum Islam
Masyarakat Arab terbagi menjadi dua kelompok besar, yaitu penduduk kota (Hadhary) dan penduduk gurun (Badui). Penduduk kota bertempat tinggal tetap. Mereka telah mengenal tata cara mengelola tanah pertanian dan telah mengenal tata cara perdagangan. Bahkan hubungan perdagangan mereka telah sampai ke luar negeri. Hal ini menunjukkan bahwa mereka telah memiliki peradaban cukup tinggi.
Sementara masyarakat Badui hidupnya berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya guna mencari air dan padang rumput untuk binatang gembalaan mereka[2]. Di antara kebiasaan mereka adalah mengendarai unta, mengembala domba dan keledai, berburu serta menyerang musuh. Kebiasaan ini menurut adat mereka adalah pekerjaan yang lebih pantas dilakukan oleh laki-laki. Oleh karena itu, mereka belum mengenal pertanian dan perdagangan. Karenanya, mereka hidup berpindah dari satu tempat ke tempat lain untuk mencari kehidupan, baik untuk diri dan keluarga mereka atau untuk binatang ternak mereka. Dalam perjalanan pengembaraan itu, terkadang mereka menyerang musuh atau menghadapi serangan musuh. Di sinilah terjadi kebiasaan berperang di antara suku-suku yang ada di wilayah Arabia.
Ketika mereka diserang musuh maka suku yang bersekutu dengan mereka biasanya ikut membantu dan rela mengorbankan apa saja untuk membantu kawan sekutunya itu. Di sinilah dapat kita lihat adanya unsur kesetiakawanan yang ada di antara mereka. Selain itu, manakala seorang anggota suku diserang oleh suku lain maka seluruh anggota wajib membela anggotanya meskipun anggotanya itu salah. Mereka tidak melihat kesalahan ada di pihak mana. Hal penting yang mereka lakukan adalah membela sesama anggota suku. Itulah yang dapat kita lihat dari sikap fanatisme dan patriotisme yang ada di dalam kehidupan masyarakat Badui.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kondisi geografis Arab sangat besar pengaruhnya terhadap kejiwaan masyarakatnya. Arab sebagai wilayah tandus dan gersang telah menyelamatkan masyarakatnya dari serangan musuh-musuh luar. Pada sisi lainnya, kegersangan ini mendorong mereka menjadi pengembara-pengembara dan pedagang daerah lain. Keluasan dan kebebasan kehidupan mereka di padang pasir juga menimbulkan semangat kebebasan dan individualisme dalam pribadi mereka. Kecintaan mereka terhadap kebebasan ini menyebabkan mereka tidak pernah dijajah bangsa lain.
Kondisi kehidupan Arab menjelang kelahiran Islam secara umum dikenal dengan sebutan zaman jahiliyah. Hal ini dikarenakan kondisi sosial politik dan keagamaan masyarakat Arab saat itu. Hal itu disebabkan karena dalam waktu yang lama, masyarakat Arab tidak memiliki nabi, kitab suci, ideologi agama dan tokoh besar yang membimbing mereka. Mereka tidak mempunyai sistem pemerintahan yang ideal dan tidak mengindahkan nilai-nilai moral. Pada saat itu, tingkat keberagamaan mereka tidak berbeda jauh dengan masyarakat primitif.
Sesungguhnya sejak zaman jahiliyah, masyarakat Arab memiliki berbagai sifat dan karakter yang positif, seperti sifat pemberani, ketahanan fisik yang prima, daya ingat yang kuat, kesadaran akan harga diri dan martabat, cinta kebebasan, setia terhadap suku dan pemimpin, pola kehidupan yang sederhana, ramah tamah, mahir dalam bersyair dan sebagainya. Namun sifat-sifat dan karakter yang baik tersebut seakan tidak ada artinya karena suatu kondisi yang menyelimuti kehidupan mereka, yakni ketidakadilan, kejahatan, dan keyakinan terhadap tahayul.
Pada masa itu, kaum wanita menempati kedudukan yang sangat rendah sepanjang sejarah umat manusia. Masyarakat Arab pra Islam memandang wanita ibarat binatang piaraan bahkan lebih hina lagi. Karena para wanita sama sekali tidak mendapatkan penghormatan sosial dan tidak memiliki apapun. Kaum laki-laki dapat saja mengawini wanita sesuka hatinya dan menceraikan mereka semaunya. Bahkan ada suku yang memiliki tradisi yang sangat buruk, yaitu suka mengubur anak perempuan mereka hidup-hidup. Mereka merasa terhina memiliki anak-anak perempuan. Muka mereka akan memerah bila mendengar isteri mereka melahirkan anak perempuan. Perbuatan itu mereka lakukan karena mereka merasa malu dan khawatir anak perempuannya akan membawa kemiskinan dan kesengsaraan dan kehinaan.
Selain itu, sistem perbudakan juga merajalela. Budak diperlakukan majikannya secara tidak manusiawi. Mereka tidak mendapatkan kebebasan untuk hidup layaknya manusia merdeka. Bahkan para majikannya tidak jarang menyiksa dan memperlakukan para budak seperti binatang dan barang dagangan, dijual atau dibunu
Secara garis besar kehidupan sosial masyarakat Arab secara keseluruhan dan masyarakat kota Mekkah secara khusus benar-benar berada dalam kehidupan sosial yang tidak benar atau jahiliyah. Akhlak mereka sangat rendah, tidak memiliki sifat-sifat perikemanusiaan dan sebagainya. Dalam situasi inilah agama Islam lahir di kota Mekkah dengan diutusnya Muhammad saw. sebagai nabi dan rasul Allah.
Secara singkat dapat disimpulkan keaadaan sosial dan kebudayaan bangsa Arab sebelum islam diantaranya:
1.       Orang-orang Arab sebelum kedatangan Islam adalah orang-orang yang menyekutukan Allah (musyrikin), yaitu mereka menyembah patung-patung dan menganggap patung-patung itu suci.
2.       Kebiasaan mereka ialah membunuh anak laki-laki mereka karena takut kemiskinan dan kelaparan.
3.       Mereka menguburkan anak-anak perempuan mereka hidup-hidup karena takut malu dan celaan.
4.      Mereka orang-orang yang suka berselisihan, yang suka bertengkar, lantaran sebab-sebab kecil, sebab segolongan dari mereka memerangi akan segolongannya.
Berikut beberapa contoh-contoh tradisi penyembahan berhala yang mereka lakukan., seperti:
1)       Mereka mengelilingi berhala dan mendatanginya, komat-kamit dihadapannya, meminta pertolongan tatkala kesulitan, dll.
2)      Menunaikan Haji dan Thawaf di sekeliling berhala.
3)      Mengorbankan hewan sembelihan demi berhala dan menyebut namanya.
4)      Orang Arab juga percaya dengan pngundian nasib dengan anak panah di depan Hubal, mereka juga percaya pada peramal, orang pintar dan ahli Nujum.[3]

C.    Keadaan ekonomi Bangsa Arab sebelum Islam
Perdagangan merupakan unsur penting dalam perekonomian masyarakat Arab pra Islam. Makkah misalnya, karena letak geografisnya yang sangat strategis maka ia menjadi tempat persinggahan para kafilah dagang yang datang dan pergi menuju pusat perniagaan[4]. Mereka berdagang bukan saja dengan orang Arab, tetapi juga dengan non-Arab. Kemajuan perdagangan bangsa Arab pra Islam dimungkinkan antara lain karena pertanian yang telah maju. Kemajuan ini ditandai dengan adanya kegiatan ekspor-impor yang mereka lakukan. Para pedagang Arab selatan dan Yaman pada 200 tahun menjelang Islam lahir telah mengadakan transaksi dengan Hindia, Afrika, dan Persia. Komoditas ekspor Arab selatan dan Yaman adalah dupa, kemenyan, kayu gaharu, minyak wangi, kulit binatang, buah kismis, dan anggur. Sedangkan yang mereka impor dari Afrika adalah kayu, logam, budak; dari Hindia adalah gading, sutra, pakaian dan pedang; dari Persia adalah intan. Data ini menunjukkan bahwa perdagangan merupakan urat nadi perekonomian yang sangat penting sehingga kebijakan politik yang dilakukan memang dalam rangka mengamankan jalur perdagangan ini.
Faktor-faktor yang mendorong kemajuan perdagangan Arab sebelum Islam sebagaimana dikemukakan Burhan al-Din Dallu adalah sebagai berikut:
1.    Kemajuan produksi lokal serta kemajuan aspek pertanian.
2.     Adanya anggapan bahwa pedagang merupakan profesi yang paling bergengsi.
3.   Terjalinnya suku-suku ke dalam politik dan perjanjian perdagangan lokal maupun regional antara pembesar Hijaz di satu pihak dengan penguasa Syam, Persia dan Ethiopia di pihak lain.
            4.     Letak geografis Hijaz yang sangat strategis di jazirah Arab.
5.     Mundurnya perekonomian dua imperium besar, Byzantium dan Sasaniah, karena keduanya terlibat peperangan terus menerus.
6.      Jatuhnya Arab selatan dan Yaman secara politis ke tangan orang Ethiopia pada tahun 535 Masehi dan kemudian ke tangan Persia pada tahun 257 M.
7.      Dibangunnya pasar lokal dan pasa musiman di Hijaz, seperti Ukaz, Majna, Zu al-Majaz,pasar bani Qainuna, Dumat al-Jandal, Yamamah dan pasar Wahat.
 8.    Terblokadenya lalu lintas perdagangan Byzantium di utara Hijaz dan laut merah[5].
     
Data-data yang dikemukakan Dallu menunjukkan bahwa antara ekonomi dan politik tidak dapat dipisahkan dalam konteks kehidupan masyarakat Arab pra Islam. Kehidupan politik Byzantium dan Sasaniah turut memberikan sumbangan dalam memajukan proses perdagangan yang berlangsung di Hijaz, karena kedua kerajaan ini sangat berkepentingan terhadap jalur perdagangan ini.
Di lain sisi, Mekkah di mana terdapat ka’bah yang pada waktu itu sebagai pusat kegiatan Agama, telah menjadi jalur perdagangan internasional. Hal ini diuntungkan oleh posisinya yang sangat strategis karena terletak di persimpangan jalan yang menghubungkan jalur perdagangan dan jaringan bisnis dari Yaman ke Syiria, dari Abysinia ke Irak. Pada mulanya Mekkah didirikan sebagai pusat perdagangan lokal di samping juga pusat kegiatan agama. Karena Mekkah merupakan tempat suci, maka para pengunjung merasa terjamin keamanan jiwanya dan mereka harus menghentikan segala permusuhan selama masih berada di daerah tersebut. Untuk menjamin keamanan dalam perjalanan suatu sistem keamanan di bulan-bulan suci, ditetapkan oleh suku-suku yang ada di sekitarnya. Keberhasilan sistem ini mengakibatkan berkembangnya perdagangan yang pada gilirannya menyebabkan munculnya tempat-tempat perdagangan baru.
Dengan posisi Mekkah yang sangat strategis sebagai pusat perdagangan bertaraf internasional, komoditas-komoditas yang diperdagangkan tentu saja barang-barang mewah seperti emas, perak, sutra, rempah-rempah, minyak wangi, kemenyan, dan lain-lain. Walaupun kenyataan yang tidak dapat dipungkiri adalah pada mulanya para pedagang Quraish merupakan pedagang eceran, tetapi dalam perkembangan selanjutnya orang-orang Mekkah memperoleh kesuksesan yang besar, sehingga mereka menjadi pengusaha di berbagai bidang bisnis.

D.    Keadaan politik bangsa Arab sebelum Islam
   Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa sebagian besar daerah Arab adalah daerah gersang dan tandus, kecuali daerah Yaman yang terkenal subur. Ditambah lagi dengan kenyataan luasnya daerah di tengah Jazirah Arab, bengisnya alam, sulitnya transportasi, dan merajalelanya badui yang merupakan faktor-faktor penghalang bagi terbentuknya sebuah negara kesatuan serta adanya tatanan politik yang benar. Mereka tidak mungkin menetap. Mereka hanya bisa loyal ke kabilahnya saja. Oleh karena itu, mereka tidak akan tunduk ke sebuah kekuatan politik di luar kabilahnya yang menjadikan mereka tidak mengenal konsep negara.
Sementara menurut Nicholson, tidak terbentuknya Negara dalam struktur masyarakat Arab pra Islam, disebabkan karena konstitusi kesukuan tidak tertulis[6]. Sehingga pemimpin tidak mempunyai hak memerintah dan menjatuhkan hukuman pada anggotanya. Namun dalam bidang perdagangan, peran pemimpin suku sangat kuat. Hal ini tercermin dalam perjanjian-perjanjian perdagangan yang pernah dibuat antara pemimpin suku di Mekkah dengan penguasa Yaman, Yamamah, Tamim, Ghassaniah, Hirah, Suriah, dab Ethiopia.
Model organisasi politik bangsa Arab lebih didominasi kesukuan (model kabilah). Kepala sukunya disebut Shaikh, yakni seorang pemimpin yang dipilih antara sesama anggota. Shaikh  dipilih dari suku yang lebih tua, biasanya dari anggota yang masih memiliki hubungan famili. Shaikh tidak berwenang memaksa, serta tidak dapat membebankan tugas-tugas atau mengenakan hukuman-hukuman. Hak dan kewajiban hanya melekat pada warga suku secara individual, serta tidak mengikat pada warga suku lain.

E.     Keadaan agama bangsa Arab sebelum Islam
Sebelum kedatangan Islam di arab terdapat berbagai agama diantara ada yang beragama Yahudi, kristen dimana mayoritas penganut agama Yahudi tersebut pandai bercocok tanam dan membuat alat-alat dari besi seperti perhiasan dan persenjataan[7].
Penduduk Arab menganut agama yang bermacam-macam. Paganisme, Yahudi, dan Kristen merupakan ragam agama orang Arab pra Islam. Pagan adalah agama mayoritas mereka. Ratusan berhala dengan bermacam-macam bentuk ada di sekitar Ka’bah. Setidaknya ada empat sebutan bagi berhala-berhala itu: sanam, wathan, nusub, dan hubal. Sanam berbentuk manusia dibuat dari logam atau kayu. Wathan juga dibuat dari batu. Nusub adalah batu karang tanpa suatu bentuk tertentu. Hubal berbentuk manusia yang dibuat dari batu akik. Dialah dewa orang Arab yang paling besar dan diletakkan dalam Ka’bah di Mekah. Orang-orang dari semua penjuru jazirah datang berziarah ke tempat itu. Beberapa kabilah melakukan cara-cara ibadahnya sendiri-sendiri. Ini membuktikan bahwa paganisme sudah berumur ribuan tahun. Sejak berabad-abad penyembahan patung berhala tetap tidak terusik, baik pada masa kehadiran permukiman Yahudi maupun upaya-upaya kristenisasi yang muncul di Syiria dan Mesir.
Agama Yahudi dianut oleh para imigran yang bermukim di Yathrib dan Yaman. Tidak banyak data sejarah tentang pemeluk dan kejadian penting agama ini di Jazirah Arab, kecuali di Yaman. Dzū Nuwās merupakan penguasa Yaman yang condong ke Yahudi. Dia tidak menyukai penyembahan berhala yang telah menimpa bangsanya. Dia meminta penduduk Najran agar masuk agama Yahudi. sehingga kalau mereka menolak, maka akan dibunuh. Namun yang terjadi justru menolak, maka digalilah sebuah parit dan dipasang api di dalamnya. Mereka dimasukkan ke dalam parit itu, serta dibunuh dengan pedang atau dilukai sampai cacat bagi yang selamat dari api tersebut. Korban pembunuhan itu mencapai dua puluh ribu orang. Tragedi berdarah dengan motif fanatisme agama ini diabadikan dalam al-Quran dalam kisah “orang-orang yang membuat parit” (Ashab al-Ukhdud). Sedangkan Agama Kristen di jazirah Arab dan sekitarnya sebelum kedatangan Islam tidak ternodai oleh tragedi yang mengerikan semacam itu. Yang tampak hanyalah pertikaian di antara sekte-sekte Kristen. Menurut Muhammad ‘Abid al-Jabiri, al-Quran menggunakan istilah “Nasara” bukan “al-Masihiyah” dan “al-Masihi” bagi pemeluk agama Kristen. Bagi pendeta Kristen resmi (Katolik, Ortodoks, dan Evangelis) istilah “Nasara” adalah sekte sesat, tetapi bagi ulama Islam mereka adalah “Hawariyun”. Para misionaris Kristen menyebarkan doktrinnya dengan bahasa Yunani yang waktu itu madhab-madhab filsafat dan aliran-aliran gnostik dan hermes menyerbu daerah itu. Inilah yang menimbulkan pertentangan antara misionaris dan pemikir Yunani yang memunculkan usaha-usaha mendamaikan antara filsafat Yunani yang bertumpu pada akal dan doktrin Kristen yang bertumpu pada iman. Inilah yang melahirkan sekte-sekte Kristen yang kemudian menyebar ke berbagai penjuru, termasuk jazirah Arab dan sekitarnya. Sekte Arius menyebar di bagian selatan jazirah Arab, yaitu dari Suria dan Palestina ke Irak dan Persia.
Salah satu corak beragama yang ada sebelum Islam datang selain tiga agama di atas adalah Hanifiyah[8], yaitu sekelompok orang yang mencari agama Ibrahim yang murni yang tidak terkontaminasi oleh nafsu penyembahan berhala-berhala, juga tidak menganut agama Yahudi ataupun Kristen, tetapi mengakui keesaan Allah. Mereka berpandangan bahwa agama yang benar di sisi Allah adalah Hanifiyah, sebagai aktualisasi dari millah Ibrahim. Gerakan ini menyebar luas ke berbagai penjuru Jazirah Arab khususnya di tiga wilayah Hijaz, yaitu Yathrib, Taif, dan Mekah.












BAB III
          PENUTUP
Kesimpulan
Secara sosiologis, bangsa Arab sebelum Islam merupakan bangsa yang hidup secara kesukuan. Mereka hidup berpindah-pindah. Hal ini disebabkan kondisi geografis yang tidak mendukung, seperti model tanah yang tandus, berbatu, padang pasir luas serta beriklim panas dan jarang turun hujan. Dalam keadaan semacam ini, wajar jika mereka memiliki watak keras, suka berperang, merampok, berjudi, berzina, sehingga terkesan jauh dari nilai-nilai moral-kemanusiaan. Demikian ini seakan-akan menjadi tradisi masyarakat Arab sebelum Islam. Keadaan semacam inilah yang meniscayakan zaman tersebut disebut zaman jahiliyyah.
Dari sisi perekonomian, unsur penting yang menjadi andalan masyarakat Arab pra Islam adalah perdagangan di samping bertani dan beternak. Mereka telah lama mengenal perdagangan bukan saja dengan orang Arab, tetapi juga dengan non-Arab. Terbukti dengan adanya Mekkah sebagai kota dagang internasional. Demikian ini karena letak daerah Hijaz, khususnya Mekkah, sangatlah strategis, yakni penghubung jalur dagang antara Yaman dengan Syiria. Di samping itu, daerah pesisir ini juga di lewati kapal-kapal dagang Eropa dan Asia melalui laut merah.
Dunia politik Arab pra Islam lebih didominasi oleh model kesukuan. Pimpinan tertinggi dari suku dinamakan Shaikh.Fungsi pemerintahan Shaikh ini lebih banyak bersifat penengah (arbitrasi) dari pada memberi komando. Shaikh tidak berwenang memaksa, serta tidak dapat membebankan tugas-tugas atau mengenakan hukuman-hukuman. Dari dominasi model kesukuan ini, terbentuknya Negara kesatuan serta adanya tatanan politik yang benar agaknya sedikit terhalangi.
Sementara jika ditinjau dari sisi keagamaan, masyarakat Arab pra Islam memeluk berbagai macam agama, di antaranya Paganisme, Yahudi, Kristen dan Hanifiyah. Agama-agama ini merupakan agama warisan dari pendahu-pendahulunya. Keadaan tersebut masing terus berlangsung sampai datangnya Islam sebagai agama yang hak, serta penyempurna dari agama-agama samawi sebelumnya.





































                                           DAFTAR PUSTAKA

Al-Din, Burhan, Jazirat- Arab al-Islam, Beirut: t. p. 1989
Asy Syarkowi, Abdurrahman, Muhammad Sang Pembebas, Yogyakarta: Mitra Pustaka 2003
Taufiqqurahman, Sejarah Sosial Politik Masyarakat Islam Daras Sejarah Peradaban Islam (Surabaya: Pustaka Islamika), 2003
Sa’id Romadhan al-Buthy, Muhammad, Sirah Nabawiyah, Jakarta: Robbani Press cet 11 2006
Yatim Badri, Sejarah Peradaban Islam , Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 2008




[1]  Menurut Noeldeke, dinamakan Jazirah Arab karena wilayah tersebut merupakan wilayah yang sebagian besar terdiri dari padang pasir. Sedang menurut Muhammad Hasyim Athiyah dinamakan Jazirah karena penduduknya suka mengembara dan nomaden. Nomaden dilakukan karena kebutuhan untuk mencari makan bagi ternaknya seperti kuda, unta, dan kambing ke Oase jika di daerah asal terjadi kemarau panjang. Lihat Taufiqqurahman, Sejarah Sosial Politik Masyarakat Islam Daras Sejarah Peradaban Islam (Surabaya: Pustaka Islamika, 2003), 1.
[2] Dr. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo. 2008 hlm 10.
[3]
[4] Abdurrahman Asy Syarkowi, Muhammad Sang Pembebas, Yogyakarta: Mitra Pustaka 2003 hlm 10
[5] Burhan Al-Din, Jazirat-Arab al-Islam, Beirut: T p . 1989 hlm 21.
[6] R A. Nicholson, A Literary History of The Arabs. Cambridge: Cambridge University Press. 1997 hlm 49
[7] Dr . Badri Yatim, op. Cit, hlm 15
[8] Dr. Muhammah Sa’id Ramadhan al-Buthy, Sirah Nabawiyah, Jakarta: Robbani Press cet 11 2006 hlm 21

Related Posts:

  • perkawinan dalam kajian hukum positif di Indonesia BAB I PENDAHULUAN A.      Latar Belakang Perkawinan adalah sunatullah, atau hukum alam di dunia yang dilakukan oleh setiap mahluk yang Allah jadikan secara berpasang-pasangan, sebagaimana firman A… Read More
  • HUKUM SYARA A.                Pengertian Hukum Syara Hukum syara kata  adalah kata majemuk yang tersusun dari kata “ Hukum” dan kata ” Syara ” . Kata Huku… Read More
  • PERKEMBANGAN HADITS DIMASA SAHABAT PENDAHULUAN A.    Latar Belakang Masalah Bagi orang islam, hadits adalah sumber ajaran islam disamping Al-Qur’an. Tanpa menggunakan hadits, syariat islam tidak dapat dimengerti secara utuh dan tidak dapat di… Read More
  • SUGESTI BAB II PEMBAHASAN A.  Pengertian Sugesti Secara umum, seluruh kalimat yang disampaikan oleh Hypnotist disebut sebagai Sugesti. Terdapat 2 macam “gaya” dalam membawakan Sugesti pada saat melakukan hipnotis, yaitu : g… Read More
  • ISTIHSAN PEMBAHASAN A.    Pengertian istihsan Secara bahasa,istihsan berasal dari kata al-husnu yang berarti baik, karenanya kata istihsan berarti menganggap sesuatu baik.Dalam pengertian yang hampir sama, al-Sarakhs… Read More

0 komentar:

Posting Komentar

Text Widget

Copyright © 2025 CATATAN HARIAN MAHASISWA GENDENG | Powered by Blogger

Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com