A.
Pengertian
Hukum Syara
Hukum syara kata adalah kata majemuk yang tersusun dari kata “
Hukum” dan kata ” Syara ” . Kata Hukum berasal dari bahasa arab “Hukum” yang secara
etimologi “ memutuskan “ menetapkan “ dan menyelesaikan”.
Kata “ syara ” secara etimologis
berarti “Jalan,jalan yang biasa dilalui air”. Kata ini secara sederhana berarti
“Ketentuan Allah “ .
Bila kata hukum di rangkai dengan
kata syara ‘ yaitu “ Hukum syara “
akan berarti : Seperangkat peraturan
berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang di akui dan di
yakini berlaku serta mengikat untuk seluruh umat beragama islam”.
Pengetahuan tentang Hukum syara ‘
merupakan hasil nyata dari pengetahuan tentang fiqih dan ushul fiqih . Produk
dari dua ilmu ini adalah pengetahuan tentang hokum syar’I dalam hal yang
menyangkut tingkah laku manusia mukallaf. Hanya saja kedua ilmu ini memandang
dari arah berbeda . Ilmu ushul fiqih memandang kea rah metode pengenalanya dan
sumber yang di gunakan untuk itu; sedangkan ilmu fiqih memndang dari arah
merumuskannya dengan perbuatan dan lingkuf yang di gariskan oleh ushul fiqih.
Dengan demikian terdapat perbedaan
antara ahli ushul fiqih dan ahli fiqihdalam memberikan definisi terhadap” hukum
syara “ . Hukum syara menurut definisi ahli ushul fiqih ialah : khitab (titah)Allah yang menyangkut tindak
tunduk mukallaf dalam bentuk tuntutan , pilihan berbuat atau tidak ; atau dalam
bentuk ketentuan ketentuan .’’ Ahli
ushul fiqih memandang pengetahuan tentang titah Allah yang menyangkut tindak
tanduk manusia itulah yang di sebut hokum syara’, seperti titah Allah “
kerjakan sholat ‘ atau Larangannya : Janganlah kamu memakan harta orang lain
secara bathil”.
Ahli fiqih memberikan definisi
Hukum syara’ sebagai berikut “ sifat yang
merupakan pengaruh atau akibat yang timbul dari titah Allah terhadap orang
mukallaf itu” Dalam bentuk lain Hukum syara ‘ adalah wajibnya Shalat”
sebagai pengaruh dari titah Allah yang menyuruh shalat ; atau Haramnya memakan
harta orang secara bathil sebagai akibat larangan Allah memakan harta orang
lain secara bathil.[1]
B.
Pembagian
Hukum Syara
Bertitik tolak dari definisi Hukum
syar’I di atas yaitu titah Allah yang menyangkut perbuatan mukallaf dalam
bentuk tuntutan , pilihan dan ketentuan,
Hukum syara terbagi dua macam:
a) Hukum
taklifi adalah firman Allah yang menuntut manusia untuk melakukan atau
meninggalkan sesuatu atau memilih antara berbuat atau meninggalkan.
Contohnya firman Allah yang menuntut manusia untuk melakuakan perbuatan:
Artinya:”Dan dirikanlah shalat, tunaikan zakat dan taatilah Rasul, supaya kamu di beri rahmat
Contoh firman Allah
yang bersifat menuntut meninggalkan perbuatan :
Artinya :”Janganlah
kamu memakan harta di antara kamu dengan jalan bathil ”.
Contoh firman yang
bersifat memlih :
Artinya: “ Dan
makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam,yaitu fajar
b) Hukum
wadh’i adalah firman Allah swt. yang menuntuk untuk menjadikan sesuatu sebab,
syarat atau penghalang dari sesuatu yang lain
Contoh firman Allah yang bersifat
menjadikan sesuatu sebagai sebab yang lain:
Artinya: “ dirikanlah shalat sesudah matahari tergelincir.”
Pada ayat tersebut , tergelincir
matahari dijadikan sebab wajibnya shalat
Contoh firman Allah yang menjadikan
sesuatu sebagai syarat:
Artinya:
“ Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka
cukup umur untuk kawin (dewasa)
Ayat tersebut menunjukan kedewasaan
anak yatim menjadi syarat hilangnya perwalian atas dirinya.
Contoh khitab Allah yang menjadikan
sesuatu sebagai penghalang:
Artinya: “ Pembunuh tidak mendapat waris.”
Ayat tersebut menunjukan bahwa
pembunuh sebagai penghalang untuk mendapatkan warisan.[2]
C. Hukum
hukum menurut fuqaha
Seperti yan telah diterangkan bahwa
hukum –hukum menurut fuqaha adalah dampak dari tuntutan jhitab tasyri’.seperti
wajib ,haram,makruh suanh dan mandub.
Hukum lima atau akhmul
khamsah menurut kajian ilmu fiqih adalah:
1. Wajib,
yaitu : Suatu perbuatan yang apabila
dikerjakan mendapatkan pahala dan apabila ditinggalkan mendapatkan siksa.
Seperti shalat fardhu, puasa ramadhan, mengeluarkan zakat, haji dan lainnya.
Wajib ini menunjukkan perintah yang tetap.
2. Sunnah,
yakni : Suatu perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat pahala, dan apabila
ditinggalkan tidak mendapat siksa. Seperti shalat tahiyyatul masjid, shalat
dhuha, puasa senin-kamis dan lainnya. Sunnah ini menunjukkan perintah yang
tidak tetap.
3. Haram,
yaitu ; Suatu perbuatan yang apabila ditinggalkan mendapat pahala dan apabila
dikerjakan mendapat siksa. Seperti minum arak, berbuat zina, mencuri, dan lain
sebagainya. Haram ini menunjukkan larangan yang tetap.
4. Makruh,
yaitu ; Suatu perbuatan yang apabila ditinggalkan mendapat pahala, dan apabila
dikerjakan tidak mendapat siksa. Seperti mendahulukan yang kiri atas kanan saat
membasuh anggota badan dalam wudhu. makruh ini menunjukkan larangan yang tidak
tetap.
4.
5. Mubah,
yaitu ; Suatu perbuatan yang apabila dikerjakan atau ditinggalkan sama saja
tidak mendapat pahala atau siksa.
Seperti makan, minum. Mubah ini tidak menunjukkan perintah yang tetap atau yang
tidak tetap. dan tidak menunjukkan larangan tetap atau laraangan tidak tetap
Menurut definisi-definisi tersebut
,jelaslah bahwa:
1) wajib adalah perbuatan yang diberi pahala apabila
di amalkan dan di murkai bila meninggalkan nya ,sebaliknya adalah perbuatan
yang di hukumi haram.
2) Sedangkan
Mandub atau sunnat adalah perbuatan
yang apabila di amalkan di beri pahala dan tidak dimurkai apabila
meninggalkannya,sebaliknya adalah perbuatan yang di hukumi makruh
3) Adapun
mubah adalah perbuatan yang tidak di pahalakan mengerjakannya dan tidak pula di
murkai apabila meninggalkanya.
Dari keterangan itu Nampak bahwa hukum
syara secara ilmu fiqih itu tidak dikaitkan dengan dalilnya tetapi dikaitkan
dengan implentasi orang yang mengerjakan perbuatan yang dihukumi itu, apakah
diberi pahala atau tidak di beri pahala atau dimurkainya.
D.
WAJIB
a.
Pengertian Wajib
Secara
sederhana “wajib” dediefinisi oleh ahli
ushul fiqih:
Wajib
adalah sesuatu perbuatan yang dituntut Allah untuk dilakukan secara tuntutan
pasti,yang diberi ganjaran dengan pahal orang yang melakukannya karena perbuatannya
itu telah sesuai dengan kehendak yang menuntut dan diancam dosa orang yang
meninggalkan karena bertentangan dengan kehendak yang menuntut.
b.
Pembagian hukum wajib
Pembagian hukum wajib dapat ditinjau
seperti scema sbb.[3]
·
Ditinjau dari
cara menunaikan nya : wajib mu’ayan dan wajib mukhayar.
·
Di tinjau dari
waktu menunaikannya:wajib mudhayaq dan wajib Muwasa.’
·
Ditinjau dari
siapa menunaikannya: wajib Ain dan wajib kifayah
·
Ditinjau dari
kadarnya : wajib muhadad dan wajib ghairu muhadad.
a) Wajib
mu’ayan ialah wajib yang sudah ditentukan cara menunaikannya , misalnya cara
berwudhu,cara shalat,cara thawaf dan seterusnya.
b) Wajib
mukhayar ialah wajib yang cara menunaikan nya boleh di ikhtiyarkan,misalnya
kafarah sumpah boleh memilih antara member makan orang miskin atau membebaskan
budak .misalnya menutup aurat,boleh pakai celana boleh pakai sarung atau
lainnya.
c) Wajib
mudhayaq yakni wajib yang waktu menuaikan sangat sempit ,misalnya wukuf di
arofah hanya tanggal 9 dzul hikkah mulai waktu dhuhur sampai magrib .waktu
shalat lima waktu sangat terbatas oleh waktu yang telah di tentukan.
d) Wajib
muwasa yakni waktu menunaikannya sangat luas ,misalnya kewajiban hajji, boleh
waktu masih muda boleh juga setelah tua .waktu mengqodho’ puasa ,teserah yang
penting setelah tanggal 1-syawal .
e) Wajib
‘ain : yakni wajib yang harus di tunaikan oleh seseorang tanpa kecuali
,misalnya sholat lima waktu ,puasa ramadhan
f) Wajib
kifayah yakni wajib pada asalnya harus ditunaikan oleh setiap orang ,tetapi
karena sudah ada yang menunaikan nya maka gugur kewajiban nya ,misalnya
menolong orang kecelakaan, menshalati jenazah.
g) Wajib
mudad yakni wajib kadarnya telah di tentukan ,misalnya mengerjakan shalat di
mulai takbiratul ikhram dan di sudahi dengan salam ,shalat magrib tiga
rakaat,kadar membayar zakat fitrah
h) Wajib
ghairu muhadad yakni wajib yang kadarnya tidak di tentukan ,misalnya menyantuni
anak yatim,menolong orang susah,tidak ada ketentuan nya harus berapa orang yang
di santuni
E. MANDUB
a)
Pengertian mandub
Mandub dalam artian lugwahi adalah
seruan untuk sesuatu yang penting .adapun dalam artian definisi ialah: sesuatu
yang di tuntut untuk memperbuatnya secara hukum syar’I tanpa ada celaan
terhadap orang yang meninggalkanya secara mutlak”.
Karena itu sebagian ulama memberi
arti terhadap mandub itu dengan
“Sesuatu yang di beri pahala
apabila orang yang mengerjakannya dan tidak di siksa orang yang
meninggalkannya.”
b)
Pembagian mandub
Mandub (sunnah) dapat di bagi dari beberapa sisi,yaitu:
1. Dari
segi selalu dan tidak selalunya nabi melakukannya perbuatan sunnat.
·
Sunnah
muakkadah
Yaitu perbuatan yan
selalu dilakukan oleh nabi di samping ada keterangan yang menunjukan bahwa
perbuatan itu bukanlah sesuatu yang fardhu.Umpamanya shalat witir ,dua rakaat
fajar sebelum shalat subuh .sebagian ulama menyatakan oran yang meninggalkannya
di cela ,tetapi tidak berdosa ,karena oran yang meningalkan secara sengaja
berarti menyalahi sunnah yang di lakukan nabi.
·
Sunnah
ghairu muakkad
Yaitu perbuatan yan pernah dilakukan oleh
nabi,tetapi nabi tidak melazimkan dirinya untuk berbuat demikian .umpananya
member sedekah kepada orang miskin,shalat sunnat 4 rakaat sebelimdzuhur dan
sebelum shalat asyar .
2.
Dari segi
kemungkinan meninggalkannya perbuatan,mandub atau sunat .
·
Sunnat
hadyu
Yaitu perbuatan yan dituntut yang
melakukannya karena begitu besar faidahnya yan didapat darinya dan oran yan
meninggalkannya .Sunat dalam bentuk ini merupakan kelengkapan dari kewajiban
agama misalnya : shalat berjamaah ,shalat hari raya .
·
Sunnat
zaidah
Yaitu sunnat yang dilakukan oleh
mukallaf dinyatakan baik tetapi bila ditingalkannya yang meninggalkannya tidak
di beri sanksi apa-apa; seperti cara yang biasa dilakukan nabi dalam kehidupan
sehari-harinya
·
Sunnah
nafal
Yaitu suatu perbuatan yang dituntut sebagai tambahan
bagi perbuatan wajib ,seperti shalat sunnat 2 rakaat yang menggiring shalat
wajib,shalat tahajjud,witir dan lainnya yang dalam istilah lain di sebut sunat
ghairu muakkadah.
3.
Haram
Haram dapat dibai menjadi haram li
dzatihi dan haram li ghairihi.
Apabila keharam terkait dengan essensi perbuatan
haram itu sendiri , maka haram li dzatih
.dan apabila terkait dengan sesuatu yang diluar essensi yan di haramkan,tetapi
bentuknya kemafsadatan,maka disebut haram
li ghairih.
·
Haram
li dzatihi
Yaitu suatu keharaman langsung dan sejak
semula ditentukan syar’I tentang keharamannya.misalnya ,memakan
bangkai,babi,berjudi,meminum-minuman keras,berjudi.contoh ini adalah keharaman
pada zat (essensi) pekerjaan itu sendiri .apabila melakukan suatu transaksi
dengan suatu yan haram li dzatihi ini,hukumnya menjadi batal, dan tidak ada
akibat hukumnya.
·
Haram
li ghairih
Yaitu
sesuatu yan pada mulanya di syariatkan ,tetapi di barengioleh sesuatu yan
bersifat mudharat bagi manusia ,maka keharamannya adalah di sebabkan adanya
mudarat tersebut ,misalnya melaksanakan shalat dengan pakaian hasil
mencuri,melakukan transaksi pada azan jumat telah berkumandang,pernikahan
tahalal,puasa di hari raya idul fitri.
4.
Makruh
Ulama
hanafiyyah,membagi makruh dalam dua bentuk ,yakni makruh tanzih dan makruh
tahrim.
a)
Makruh
tanzih
Yaitu
sesuatu dituntut syar’I untuk ditinggalkan ,tetapi dengan tuntutan yang tidak
pasti.makruh tanzih dalam istilah ulama hanafiyyah ini sama dengan pengertian
makruh dikalangan jumhur ulama .misalnya memakan daging kuda yang dikemukan di
atas.
b)
Makruh tahrim
Yaitu
tuntutan syar’I untuk meninggalkan suatu perbuatan dan tuntutan itu melalui
cara yang past ,tetapi didasari kepada dalil yang zhanni . seperti larangan
memakai sutera dan perhiasan emas bagi lelaki,sebagai mana yang terdapat pada
sabda rasulullah SAW:
Keduanya ini (emas dan perak) haram
bagi umatkuyang laki-laki dan halali bagi wanita.
(H.R Abu daud,an nasai’, ibn majah dan ahmad ibn hanbal)
5.
Mubah
A. Pembagian
mubah menurut ulama ushul fiqih dilihat dari segi keterkaitan dengan mudharat
dan manfaat,yaitu:
1. Mubah
yang apabila dilakukan atau tidak dilakukan ,tidak mengandung mudarat,seperti
makan,minum,berpakaian dan berburu
2. Mubah
apabila yang dilakukan mukallaf tidak ada mudaratnya sedangkan perbuatan itu
sendiri pada dasarnya diharamkan ,mubah seperti ini diantaranya melakukan
sesuatu dalam keadaan darurat atau terpaksa , seperti makan daging babi ,karena
tidak ada makanan lagi yang mesti dimakan dan apabila daging babi itu tidak di
makan maka seseorang bias meninggal dunia . Oleh sebab itu ,dalam kondisi
seperti ini makan daging untuk sekedar mem pertahankan nyawa termasuk mubah.
3. Sesuatu
pada dasarnya bersifat mudarat dan tidak boleh dilakukan menurut syara’ tetapi
Allah memaafkan pelakunya sehingga perbuatan itu menjadi mubah.contoh untuk
kategori ini banyak sekali ,yaitu mengerjakan pekerjaan sebelum masuk islam
seperti kawin lebih dari 4 orang ,mengawini bekas istri ayah.Kemudian dating
syariat islam yang mengharamkan perbuatan tersebut dan menyatakan bahwa orang
yang melakuaknnya sebelum islam dimaafkan .
Dalam kaitan dengan ini
Allah berfirman:
Artinya:
“…terkecuali pada masa
yang telah lampau .sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan di benci Allah…”
(Q.S. An-nisa’ :22)
Ketika islam dating ada
juga contoh mubah seperti ini ,yaitu meminum minuman keras dan beristri lebih
dari 4 orang.kedua perbuatan ini pada masa awal islam masih di
perbolehkan,kemudian turun ayat yang mengharamkannya
DAFTAR PUSTAKA:
Amiruddin Zen Ushul FIQIH Penerbit TERAS juli 2009
Syarifuddin Amir Ushul
Fiqih PT LOGOS Wacana Ilmu Jakarta
1997
Praja Juhaya S Ilmu Ushul Fiqih PUSTAKA SETIA Bandung
2007.
[1]
Ushul fiqih jilid 1 prof DR. H. AMIR SYARIFUDDIN
[2]
Ilmu ushul fiqih Prof . DR.Rachmat syafe’I, MA.
[3] Ja’far Amir ushul fiqih juz 1 hal 8
0 komentar:
Posting Komentar