PEMBAHASAN
A. Pengertian istihsan
Secara bahasa,istihsan berasal dari
kata al-husnu yang berarti baik, karenanya kata istihsan berarti
menganggap sesuatu baik.Dalam pengertian yang hampir sama, al-Sarakhsi memaknai
istihsan sebagai:
Sedangkan definisi istihsan secara
istilah dapat di katagorikan kepada dua bentuk. Pertama, definisi istihsan yang
di kemukakan Abu Hasan al-Karkhi sebagaimana di kutif Mustafa Ahmad Zurqa’
berikut:
“perpindahan mujtahid dalam suatu masalah dari
hukum yang serupa dengannya kepada hukum lain karena ada alasan yang lebih kuat
menghendaki perpindahan itu.”
Kedua, definisi istihsan yyang di kemukakan
Abdul Karim Zaidan yaitu:
“istihsan ialah perpindahan dari keharusan
menggunakan suatu kias kepada kias lain yang lebih kuat atau pengkhususan
ketentuan kias dengan dalil yang lebih kuat”[1]ـ
Kemudian dalam sebuah riwayat dari ‘Abdullah bin Mas’ud’
Rasulullah Saw. Bersabda :
“Sesuatu yang
dipandang baik oleh umat islam,maka disisi Allah itu juga baik.” (HR.Ahmad bin
Hambal )[2]
Istihsan artinya mencari kebaikan. Menurut
ilmu ushul fiqh yaitu berpaling dari pada hukum yang mempunyai dalil kepada
adat (kebiasaan) untuk kemashlahatan umum. Seperti membunuh orang islam yang di
tawan oleh orang kafir di dalam peperangan. Sedangkan orang islam yang ditawan
itu dijadikan perisai oleh orang kafir, maka orang islam itu boleh dibunuh,
karena menjaga kebaikan tentara islam dan umat islam yang banyak[3]
B. Macam-Macam Istihsan
Ulama hanafiyyah membagi istihsan kepada enam
macam, yaitu:
1.
Istihsan bi al-Nash (istihsan berdasarkan ayat atau hadits).
Maksudnya, ada ayat atau hadits tentang hukum suatu kasus
yang berbeda dengan ketentuan kaidah umum misalnya dalam masalah wasiat.
Menurut ketentuan umum atau qiyas wasiat atau tidak boleh, karena sifat
pemindahan hak milik kepada orang yang berwasiat dilakukan ketika orang yang
berwasiat tidak cakap lagi, yaitu setelah ia wafat. Tetapi kaidah umum ini di
kecualikan melalui firman Allah dalam surat an-Nisaa’ 4:11, yang artinya
“...setelah mengeluarkan wasiat yang ia buat atau
hutang...”
2.
Istihsan bi al-ijma’ (istihsan yang di dasarkan pada ijma’.
Misalnya, adalah dalam kasus pemandian umum. Menurut
ketentuan kaidan umum,, jasa pemandian umum itu harus jelas, yaitu berapa lama
seseorang mandi dan berapa jumlah air yang ia pakai. Akan tetapi, apabila hal
ini di lakukan maka akan menyulitkan bagi orang banyak. Oleh sebab itu, para
ulama sepakat menyatakan bahwa boleh mempergunakan jasa pemandian umum,
sekalipun tanpa menentukan jumlah air dan lama waktu yang terpakai.
3.
Istihsan bi al-qiyas al-khafiy (istihsan berdasarkan kiyas yang tersembunyi).
Misalnya, dalam masalah wakaf lahan pertanian. Menurut
ketentuan qiyas jaliy (qiyas yang nyata), waqaf inii sama dengan jual beli,
karena pemilik lahan telah menggugurkan hak miliknya dengan memindah tanagankan
lahan tersebut. Oleh sebab itu, hak orang lain untuk melewati tanah tersebut
atau hak orang lain untuk mengalirkan air ke lahan pertaniannya melalui tanah
tersebut, tidak termasuk dalam akad waqaf itu, kecuali jika dinyatakan dalam
akad, menurut qiyas al-khafiy (qiyas yang tersembunyi) waqaf itu sama dengan
sewa menyewa, karena maksud dari waqaf adalah memanfaatkan lahan pertanian yang
di waqafkan. Dengan sifat ini, maka seluruh hak orang lain yang telah ada di
lahan pertanian yang di waqafkan. Dengan sifat ini, maka seluruh hak orang lain
yang telah ada di lahan pertanian tersebut, seperti hak melewati lahan
pertanian itu atau hak mengalirkan air di atas lahan pertanian tersebut,
termasuk ke dalam akad waqaf, sekalipun tidak di jelaskan dalam akad.abila
seorang mujtahid mengambil hukum kedua (qiyas al-khafiy), maka ia
tersebut berdalil dengan istihsan.
4.
Istihsan bi al-Mashlahah (istihsan berdasarkan kemashlahatan).
Misalnya, ketentuan umum menetapkan bahwa buruh di suatu
pabrik tidak bertanggung jawab atas kerusakan hasil komoditi yang di produk
pabrik tersebut, kecuali atas kelalaian dan kesengajaan mereka, karena mereka
hanya sebagai buruh yang menerima upah. Akan tetapi, demi kemashlahatan dalam
memelihara harta orang lain dari sikap tidak bertanggung jawab para buruh dan
sulitnya mempercayai sebagian pekerja pabrik dalam masalah keamanan produk,
maka ulama hanafiyyah menggunakan istihsan dengan menyatakan bahwa buruh harus
bertanggung jawab atas kerusakan setiap produk pabrik itu, baik di sengaja
maupun tidak.
Ulama malikiyyah mencontohkan dengan kebolehan dokter
melihat aura wanita dalam berobat. Menurut kaidah umum (qiyas),
seseorang di larang melihat aurat orang lain. Tetapi dalam keadaan tertentu
seseorang harus membuka bajunya untuk didiagnosa penyakitnya, maka untuk
kemashlahatan diri orang itu, menurut kaidah istihsan seorang dokter
boleh melihat aurat wanita yang berobat kepadanya.
5.
Istihsan bi al-‘Urf (istihsan berdasarkan adat kebiasaan yang
berlaku umum).
Contohnya sama dengan contoh istihsan yang berdasarkan
ijma’ nomor dua di atas, yaitu dalam masalah pemandian umum yang tidak di
tentukan banyak air dan lama pemandian itu di gunakan oleh seseorang, karena
adat kebiasaan setempat bisa di jadikan ukuran dalam menentukan lama dan jumlah
air yang terpakai.
6.
Istihsan bi al-Dharurah (istihsan berdasarkan keadaan darurat).
Artinya, ada keadaan keadaan darurat yang menyebabkan
seorang mujtahid tidak memberlakukan kaidah umum atau qiyas. Misalnya,
dalam kasus sumur yang kemasukan najis. Menurut kaidah umum, sumur itu sulit
untuk di bersihkan dengan mengeluarkan seluruh air dari sumur tersebut, karena
sumur yang sumbernya dari mata air, sulit untuk di keringkan. Akan tetapi,
ulama hanafiyyah mengatakan bahwa dalam keadaan seperti ini, untuk
menghilangkan najis tersebut cukup dengan memasukkan beberapa galon air ke
dalam sumur itu karena keadaan darurat menghendaki agar orang tidak mendapatkan
kesulitan dalam mendapatkan air untuk beribadah dan kebutuhan hidupnya.[4]
C. Kehujjahan Istihsan
Terdapat perbedaan pendapat ulama ushul fiqh
dalam menetapkan istihsan sebagai salah satu metode/dalil dalam
menetapkan hukum syara’.
Menurut ulama Hanafiyyah,Malikiyyah dan
sebagian ulama Hanabilah,istihsan merupakan dalil yang kuat dalam
menetapkan hukum syara’. Alasan yang mereka kemukakan adalah:
1.
Ayat ayat yang mengacu kepada mengangkatkan
kesulitan dan kesempitan dari umat manusia,yaitu firman Allah dalam surat al-Baqarah,
2;185:
“...Allah menghendaki kemudahan bagi kamu dan tidak
menghendaki kesukaran bagi kamu...”
Dalam surat al-Zumar, 39:55 Allah berfirman:
“Dan ikutilah sebaik baik appa yang telah di turunkan
kepadamu dari Tuhan mu...”
2.
Rasulullah dalam riwayat ‘Abdullah ibn Mas’ud
mengatakan:
“sesuatu yang dipandang baik oleh umat muslim,, maka
ia juga di hadapan Allah adalah baik. (H.R. Ahmad ibn Hanbal)
3. Hasil penelitian dari berbagai ayat ddan hadits terhadap berbagai
permasalahan yang terperinci menunjukkan bahwa memberlakukan hukum sesuai dengan
kaidah umum dan qiyas adakalanya membawa kesultan bagi umat manusia,
sedangkan syariat islam di tunjukkan untuk menghasilkan dan mencapai
kemaslahatan manusia. Oleh sebab itu, apabila seorang mujtahid dalam menetapkan
hukum memandang bahwa kaidah umum atau qiyas tidak dapat di berlakukan,
maka ia boleh berpaling kepada kaidah lain yang akan dapat memberikan hukum
yang lebih sesuai dengan kemaslahatan umat manusia.
Dalam hal ini Imam al-Syathibi mengataka bahwa
kaidah istihsan merupakan hasil induksi dari berbagai ayat dan haditsyang
secara keseluruhan menunjukkan secara pasti bahwa kaidah ini di dukung oleh
syara’. Contoh contoh kasus yang besifat menghilangkan kemudaratan dan
kesulitan dari umat manusia amat banyak sekali dalam syari’at islam misalnya menjama’
shalat maghrib dengan shalat ‘isya’ pun, apabila di ikuti kaidah umum tidak
dibolehkan, karena menjama’ sholat tersebut berarti mengerjakan salah satu
shalat di luar waktu nya. Tetapi, demi untuk kepentingan orang orang yang
sedang musafir , syara’ membolehkannya. Demikian juga bagi orang orang yang
berpuasa dalam keadaan musafir, diperbolehkan berbuka untuk menghindarkan
kesulitan bagi mereka. Imam al-Syathibi selanjutnya mengatakan bahwa dari
sekumpulan peristiwa itulah di rumuskan kaidah istihsan. Dengan
demikian, menjadikan kaidah istihsan sebagai dalil dalam menetapkan hukum
syara’ bukanlah di dasarkan pada akal semata, tetapi di dasarkan kepada nash
dan ijma’.
Adapun istihsan berdasarkan urf’ dan
mashlahah, seluruh ulama mazhab menerima ‘urf dan mashlahah sebagai hujjah dalam
menetapkan hukum syara’. Sedangkan istihsan dalam keadaan darurat,
mengandung pengertian dalam melakukan pengecualian hukum terhadap masalah yang
sifatnya darurat. Hal ini juga di dukung oleh nash dan ijma’, serta
diterima oleh seluruh mazhab fiqh.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
B. SARAN
Diharapkankepadapembaca
agar dapatmengambilinformasidarimakalahdiatas,
dandapatmemahamiisidarimakalahini.Dan diharapkandapatmemberikan saran
dankritikapabilaterjadikesalahandalammakalah kami.
DAFTAR PUSTAKA
Haroen,Nasrun, Ushul fiqh, Jakarta : PT. Logos Wacana Ilmu ,1997.
Syarifudin,Amir, Ushul Fiqh, Jakarta : Zikrul Hakim, 2004
[1]Prof. Dr. Amir Syarifudin, Ushul Fiqh, (Jakarta : Zikrul Hakim, 2004), cet.1., Hal.,
77-78.
[2]DR. Nasrun Haroen, M.A., Ushul Fiqh, ( Jakarta : PT. Logos
Wacana Ilmu,1997).,cet.2, Hal.102
[3]DRS . Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh,
(Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1994) Edisi 1, cet ke-2, Hal 77
[4][4]Dr. H. Nasrun Haroen, M.A, ushul fiqh,
(Jakarta : PT Logos Wacana Ilmu,1997).,cet.2.,Hal.105-108
0 komentar:
Posting Komentar