Rabu, 06 Mei 2015

ISTIHSAN

PEMBAHASAN
A.    Pengertian istihsan
Secara bahasa,istihsan berasal dari kata al-husnu yang berarti baik, karenanya kata istihsan berarti menganggap sesuatu baik.Dalam pengertian yang hampir sama, al-Sarakhsi memaknai istihsan sebagai:
Sedangkan definisi istihsan secara istilah dapat di katagorikan kepada dua bentuk. Pertama, definisi istihsan yang di kemukakan Abu Hasan al-Karkhi sebagaimana di kutif Mustafa Ahmad Zurqa’ berikut:
“perpindahan mujtahid dalam suatu masalah dari hukum yang serupa dengannya kepada hukum lain karena ada alasan yang lebih kuat menghendaki perpindahan itu.”
Kedua, definisi istihsan yyang di kemukakan Abdul Karim Zaidan yaitu:
istihsan ialah perpindahan dari keharusan menggunakan suatu kias kepada kias lain yang lebih kuat atau pengkhususan ketentuan kias dengan dalil yang lebih kuat”[1]ـ
Kemudian dalam sebuah riwayat dari ‘Abdullah bin Mas’ud’ Rasulullah Saw. Bersabda :
“Sesuatu  yang dipandang baik oleh umat islam,maka disisi Allah itu juga baik.” (HR.Ahmad bin Hambal )[2]
Istihsan artinya mencari kebaikan. Menurut ilmu ushul fiqh yaitu berpaling dari pada hukum yang mempunyai dalil kepada adat (kebiasaan) untuk kemashlahatan umum. Seperti membunuh orang islam yang di tawan oleh orang kafir di dalam peperangan. Sedangkan orang islam yang ditawan itu dijadikan perisai oleh orang kafir, maka orang islam itu boleh dibunuh, karena menjaga kebaikan tentara islam dan umat islam yang banyak[3]



B.     Macam-Macam Istihsan
Ulama hanafiyyah membagi istihsan kepada enam macam, yaitu:
1.      Istihsan bi al-Nash (istihsan berdasarkan ayat atau hadits).
Maksudnya, ada ayat atau hadits tentang hukum suatu kasus yang berbeda dengan ketentuan kaidah umum misalnya dalam masalah wasiat. Menurut ketentuan umum atau qiyas wasiat atau tidak boleh, karena sifat pemindahan hak milik kepada orang yang berwasiat dilakukan ketika orang yang berwasiat tidak cakap lagi, yaitu setelah ia wafat. Tetapi kaidah umum ini di kecualikan melalui firman Allah dalam surat an-Nisaa’ 4:11, yang artinya
“...setelah mengeluarkan wasiat yang ia buat atau hutang...”
2.      Istihsan bi al-ijma’ (istihsan yang di dasarkan pada ijma’.
Misalnya, adalah dalam kasus pemandian umum. Menurut ketentuan kaidan umum,, jasa pemandian umum itu harus jelas, yaitu berapa lama seseorang mandi dan berapa jumlah air yang ia pakai. Akan tetapi, apabila hal ini di lakukan maka akan menyulitkan bagi orang banyak. Oleh sebab itu, para ulama sepakat menyatakan bahwa boleh mempergunakan jasa pemandian umum, sekalipun tanpa menentukan jumlah air dan lama waktu yang terpakai.
3.      Istihsan bi al-qiyas al-khafiy (istihsan berdasarkan kiyas yang tersembunyi).
Misalnya, dalam masalah wakaf lahan pertanian. Menurut ketentuan qiyas jaliy (qiyas yang nyata), waqaf inii sama dengan jual beli, karena pemilik lahan telah menggugurkan hak miliknya dengan memindah tanagankan lahan tersebut. Oleh sebab itu, hak orang lain untuk melewati tanah tersebut atau hak orang lain untuk mengalirkan air ke lahan pertaniannya melalui tanah tersebut, tidak termasuk dalam akad waqaf itu, kecuali jika dinyatakan dalam akad, menurut qiyas al-khafiy (qiyas yang tersembunyi) waqaf itu sama dengan sewa menyewa, karena maksud dari waqaf adalah memanfaatkan lahan pertanian yang di waqafkan. Dengan sifat ini, maka seluruh hak orang lain yang telah ada di lahan pertanian yang di waqafkan. Dengan sifat ini, maka seluruh hak orang lain yang telah ada di lahan pertanian tersebut, seperti hak melewati lahan pertanian itu atau hak mengalirkan air di atas lahan pertanian tersebut, termasuk ke dalam akad waqaf, sekalipun tidak di jelaskan dalam akad.abila seorang mujtahid mengambil hukum kedua (qiyas al-khafiy), maka ia tersebut berdalil dengan istihsan.
4.      Istihsan bi al-Mashlahah (istihsan berdasarkan kemashlahatan).
Misalnya, ketentuan umum menetapkan bahwa buruh di suatu pabrik tidak bertanggung jawab atas kerusakan hasil komoditi yang di produk pabrik tersebut, kecuali atas kelalaian dan kesengajaan mereka, karena mereka hanya sebagai buruh yang menerima upah. Akan tetapi, demi kemashlahatan dalam memelihara harta orang lain dari sikap tidak bertanggung jawab para buruh dan sulitnya mempercayai sebagian pekerja pabrik dalam masalah keamanan produk, maka ulama hanafiyyah menggunakan istihsan dengan menyatakan bahwa buruh harus bertanggung jawab atas kerusakan setiap produk pabrik itu, baik di sengaja maupun tidak.
Ulama malikiyyah mencontohkan dengan kebolehan dokter melihat aura wanita dalam berobat. Menurut kaidah umum (qiyas), seseorang di larang melihat aurat orang lain. Tetapi dalam keadaan tertentu seseorang harus membuka bajunya untuk didiagnosa penyakitnya, maka untuk kemashlahatan diri orang itu, menurut kaidah istihsan seorang dokter boleh melihat aurat wanita yang berobat kepadanya.


5.      Istihsan bi al-‘Urf (istihsan berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku umum).
Contohnya sama dengan contoh istihsan yang berdasarkan ijma’ nomor dua di atas, yaitu dalam masalah pemandian umum yang tidak di tentukan banyak air dan lama pemandian itu di gunakan oleh seseorang, karena adat kebiasaan setempat bisa di jadikan ukuran dalam menentukan lama dan jumlah air yang terpakai.
6.      Istihsan bi al-Dharurah (istihsan berdasarkan keadaan darurat).
Artinya, ada keadaan keadaan darurat yang menyebabkan seorang mujtahid tidak memberlakukan kaidah umum atau qiyas. Misalnya, dalam kasus sumur yang kemasukan najis. Menurut kaidah umum, sumur itu sulit untuk di bersihkan dengan mengeluarkan seluruh air dari sumur tersebut, karena sumur yang sumbernya dari mata air, sulit untuk di keringkan. Akan tetapi, ulama hanafiyyah mengatakan bahwa dalam keadaan seperti ini, untuk menghilangkan najis tersebut cukup dengan memasukkan beberapa galon air ke dalam sumur itu karena keadaan darurat menghendaki agar orang tidak mendapatkan kesulitan dalam mendapatkan air untuk beribadah dan kebutuhan hidupnya.[4]

C.    Kehujjahan Istihsan
Terdapat perbedaan pendapat ulama ushul fiqh dalam menetapkan istihsan sebagai salah satu metode/dalil dalam menetapkan hukum syara’.
Menurut ulama Hanafiyyah,Malikiyyah dan sebagian ulama Hanabilah,istihsan merupakan dalil yang kuat dalam menetapkan hukum syara’. Alasan yang mereka kemukakan adalah:
1.      Ayat ayat yang mengacu kepada mengangkatkan kesulitan dan kesempitan dari umat manusia,yaitu firman Allah dalam surat al-Baqarah, 2;185:
“...Allah menghendaki kemudahan bagi kamu dan tidak menghendaki kesukaran bagi kamu...”
Dalam surat al-Zumar, 39:55 Allah berfirman:
Dan ikutilah sebaik baik appa yang telah di turunkan kepadamu dari Tuhan mu...”
2.      Rasulullah dalam riwayat ‘Abdullah ibn Mas’ud mengatakan:
sesuatu yang dipandang baik oleh umat muslim,, maka ia juga di hadapan Allah adalah baik. (H.R. Ahmad ibn Hanbal)
3.      Hasil penelitian dari berbagai ayat ddan hadits terhadap berbagai permasalahan yang terperinci menunjukkan bahwa memberlakukan hukum sesuai dengan kaidah umum dan qiyas adakalanya membawa kesultan bagi umat manusia, sedangkan syariat islam di tunjukkan untuk menghasilkan dan mencapai kemaslahatan manusia. Oleh sebab itu, apabila seorang mujtahid dalam menetapkan hukum memandang bahwa kaidah umum atau qiyas tidak dapat di berlakukan, maka ia boleh berpaling kepada kaidah lain yang akan dapat memberikan hukum yang lebih sesuai dengan kemaslahatan umat manusia.
Dalam hal ini Imam al-Syathibi mengataka bahwa kaidah istihsan merupakan hasil induksi dari berbagai ayat dan haditsyang secara keseluruhan menunjukkan secara pasti bahwa kaidah ini di dukung oleh syara’. Contoh contoh kasus yang besifat menghilangkan kemudaratan dan kesulitan dari umat manusia amat banyak sekali dalam syari’at islam misalnya menjama’ shalat maghrib dengan shalat ‘isya’ pun, apabila di ikuti kaidah umum tidak dibolehkan, karena menjama’ sholat tersebut berarti mengerjakan salah satu shalat di luar waktu nya. Tetapi, demi untuk kepentingan orang orang yang sedang musafir , syara’ membolehkannya. Demikian juga bagi orang orang yang berpuasa dalam keadaan musafir, diperbolehkan berbuka untuk menghindarkan kesulitan bagi mereka. Imam al-Syathibi selanjutnya mengatakan bahwa dari sekumpulan peristiwa itulah di rumuskan kaidah istihsan. Dengan demikian, menjadikan kaidah istihsan sebagai dalil dalam menetapkan hukum syara’ bukanlah di dasarkan pada akal semata, tetapi di dasarkan kepada nash dan ijma’.

Adapun istihsan berdasarkan urf’ dan mashlahah, seluruh ulama mazhab menerima ‘urf  dan mashlahah sebagai hujjah dalam menetapkan hukum syara’. Sedangkan istihsan dalam keadaan darurat, mengandung pengertian dalam melakukan pengecualian hukum terhadap masalah yang sifatnya darurat. Hal ini juga di dukung oleh nash dan ijma’, serta diterima oleh seluruh mazhab fiqh.









BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN


B.     SARAN
Diharapkankepadapembaca agar dapatmengambilinformasidarimakalahdiatas, dandapatmemahamiisidarimakalahini.Dan diharapkandapatmemberikan saran dankritikapabilaterjadikesalahandalammakalah kami.












DAFTAR PUSTAKA

Haroen,Nasrun, Ushul fiqh,  Jakarta : PT. Logos Wacana Ilmu ,1997.
Syarifudin,Amir,  Ushul Fiqh, Jakarta : Zikrul Hakim, 2004




[1]Prof. Dr. Amir Syarifudin, Ushul Fiqh,  (Jakarta : Zikrul Hakim, 2004), cet.1., Hal., 77-78.
[2]DR. Nasrun Haroen, M.A., Ushul Fiqh, ( Jakarta : PT. Logos Wacana Ilmu,1997).,cet.2, Hal.102
[3]DRS . Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1994) Edisi 1, cet ke-2, Hal 77
[4][4]Dr. H. Nasrun Haroen, M.A, ushul fiqh, (Jakarta : PT Logos Wacana Ilmu,1997).,cet.2.,Hal.105-108

Related Posts:

  • ISTIHSAN PEMBAHASAN A.    Pengertian istihsan Secara bahasa,istihsan berasal dari kata al-husnu yang berarti baik, karenanya kata istihsan berarti menganggap sesuatu baik.Dalam pengertian yang hampir sama, al-Sarakhs… Read More
  • PERKEMBANGAN HADITS DIMASA SAHABAT PENDAHULUAN A.    Latar Belakang Masalah Bagi orang islam, hadits adalah sumber ajaran islam disamping Al-Qur’an. Tanpa menggunakan hadits, syariat islam tidak dapat dimengerti secara utuh dan tidak dapat di… Read More
  • perkawinan dalam kajian hukum positif di Indonesia BAB I PENDAHULUAN A.      Latar Belakang Perkawinan adalah sunatullah, atau hukum alam di dunia yang dilakukan oleh setiap mahluk yang Allah jadikan secara berpasang-pasangan, sebagaimana firman A… Read More
  • HUKUM SYARA A.                Pengertian Hukum Syara Hukum syara kata  adalah kata majemuk yang tersusun dari kata “ Hukum” dan kata ” Syara ” . Kata Huku… Read More
  • SUGESTI BAB II PEMBAHASAN A.  Pengertian Sugesti Secara umum, seluruh kalimat yang disampaikan oleh Hypnotist disebut sebagai Sugesti. Terdapat 2 macam “gaya” dalam membawakan Sugesti pada saat melakukan hipnotis, yaitu : g… Read More

0 komentar:

Posting Komentar

Text Widget

Copyright © 2025 CATATAN HARIAN MAHASISWA GENDENG | Powered by Blogger

Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com